A. Pengertian
Penyitaan
Sita atau beslaag ialah suatu
tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan salah satu
pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang
menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dibebani, seseuatu sebagai
jaminan,dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai
barang-barang tersebut untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk
kepentingan kreditur (penggugat) dibekukan ini berarti bahwa barang-barang itu
disimpan (diconserveer) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau
dijual (ps. 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg). Oleh karena itu,
penyitaan ini disebut juga sita conservatoir atau sita
jaminan.
Dengan adanya penyitaan itu maka debitur atau
tergugat kehilangan wewenangnya untuk menguasai barngnya, sehingga dengan
demikian tindakan-tindakan debitur atau tergugat untuk mengasingkan atau
mengalihkan barang-barang yang disita adalah tidak sah dan merupakan perbuatan
pidana (ps. 231, 232 KUHP).
Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri
yang wajib membuat berita acra tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan
isinya kepada tersita kalau ia hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera
dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara (ps.
197 ayat 2, 5 dan 6 HIR, 209 ayat 1 dan 4, 210 Rbg).
Kalau permohonan sita jaminan itu dikabulkan, maka
lalu dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaard) dalam putusan, sesudah
mana penyitaan itu mempunyai titel eksekutorial, sehingga berubah menjadi sita
eksekutorial yang berarti bahwa tuntutan penggugat dapat dilaksanakan.
Sita jaminan ini meliputi seluruh harta kekayaan
daripada debitur atau tergugat, tetapi hanya beberapa barang tertentu saja yang
dilakukan oleh seorang kreditur.
1.
Tujuan
Penyitaan
Sita jaminan
bertujuan untuk menjamin hak pemohon sita karena itu juga sita tersebut
dinamakan sita jaminan. Dengan kata lain, sita jaminan itu berfungsi untuk
menjamin hak-hak penggugat, sehingga dapat dicegah perbuatan yang dapat
merugikan penggugat. Dengan denikian, permohonan sita jaminan tidaklah berdiri sendiri.
Dengan sita jaminan ini terjadilah pembekuan terhadap harta agar tergugat tidak
dapat mengalihkan, yaitu diperjualbelikan, ditukar dengan benda lain,
diwariskan maupun dihibahkan.
2.
Syarat-syarat
dan Alasan Penyitaan
a.
Syarat
Pengajuan Penyitaan.
Penyitaan tidaklah
mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan
syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan
adanya alasan-alasan penyitaan. Syarat penyitaan harus melalui adanya
permohonan sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan
sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku.
Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab
hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari
pengugat yang mengajukan permohonan sita. Sita Berdasarkan Permohonan
terdiri dari :
(1) Permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya dalam
suatu permohonan sita diajukan bersama-sama didalam surat gugatan. Bentuk
dan tatacara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini lazim dijumpai.
Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk suratgugatan,
sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan
sita dalam bentuk ini tidak dapat
dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan
bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita di dalam surat
gugatan biasanya mengikuti pedomanyang secara sistematis, sebagai berikut :
Ø Gugatan sita dirumuskan setelah uraian posita atau dalil gugat.
Menurut penulis cara yang seperti ini adalah cara yang tepat, perumusan
dalil gugat itulahlayak dan tidak layak diajukan permohonan sita, karena dari
perumusan dalilgugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan peristiwa
yang mendukungdalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan
permohonan sita sertaalasan kepentingan penyitaan.
Ø Permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada petitum kedua. Biasanya
setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir posita
gugat, permohonan sita itu dipertegas lagi dalam petitum gugat, yang
berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta
sengketa atau hartakekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga.
(2) Permohonan terpisah dari pokok perkara. Ada kalanya permohonan sita
diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat
membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari
gugatan pokok perkara. Disamping gugatan perkara, penggugat dapat
mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan
dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan. Namun
didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang
terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat
melenyapkan hak penggugat untuk
mengajukan permohonan sita secara lisan.
b.
Memenuhi
tenggang waktu pengajuan sita.
Tenggang waktu
pengajuan sita adalah sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat
diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan
yang dibenarkan oleh hukum.
Penentuan tenggang
waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg.
Memperhatikan kekuatan tersebut selain menentukan tenggang waktu pengajuan
sita, namun sekaligus juga mengandung permasalahan tentang instansi tempat
pengajuan sita. Menurut ketentuan undang-undang, pengajuan permohonan sita
dapat dilakukan :
(1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan hukum
tetap.Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang
dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau selama
putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara
belum diputus oleh hakim atau selama
putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka
hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
(2) Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi selama
putusan belum dijatuhkan´. Makna dan penafsiran kalimat tersebut menurut
penulis terbatas pada ruang
lingkup proses pemeriksaan sidang pengadilan negeri.Sehingga jika
proses pemeriksaan diinstansi pengadilan negeri masih berlangsung, maka
dapat diajukan permohonan sita.
(3) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi.Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg
juga memuat ketentuan yang berbunyi selama putusan belum dapat dieksekusi
(dilaksanakan)´. Selama putusan belum dapatdilaksanakan mengandung arti yuridis
selama putusan yang bersangkutan belummemperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
Jadi permohonan sita
dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi,
karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap yang dapat
dibanding maupun dikasasi.
c.
Permohonan sita harus berdasarkan alasan. Permohonan sita yang telah
dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat
mustahil sekali hakim mau mengabulkan sitaapabila tidak dibarengi dengan suatu
alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau
penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta
menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai permohonan
sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan tersebut dengan alasanyang
dibenarkan oleh hukum. Memang secara tegas undang-undang memberi hak dan kewenangan
kepada hakim untuk menyita harta kekayaan atau harta terpekara milik tergugat
sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, namun hakim harus teliti dan
cermat di dalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat
eksepsional sekali sifatnya.
3.
Prinsip-prinsip
Penyitaan
a.
Merupakan
tindakan hukum, artinya tindakan berdasarkan hukum acara perdata sebagai
tindakan persiapan, karena belum ada tindakan riil.
b.
Merupakan
tindakan hakim, artinya sita jaminan hanya dapat dilakukan karena perintah hakim
atas permohonan dari salah satu pihak (penggugat). Yang berhak mengajukan sita
jaminan hanya pihak yang bersengketa dan hanya dapat dilakukan jika ada
permohonan.
c.
Sita jaminan
bersifat eksepsional, artinya sita jaminan di luar pokok perkara, yaitu suatu
tindakan yang disertakan dan hanya berkaitan langsung dengan pokok perkara oleh
karena itu, sita jaminan sangat tergantung dari putusan mengenai pokok perkara.
d.
Sita jaminan
merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dilaksanakannya putusan hakim, artinya
putusan hakim secara nyata dapat diwujudkan dan tidak menjadi hampa karena
barang sengketa rusak, musnah, dipindahtangankan, dan sebagainya.
e.
Sita jaminan
bertujuan untuk mengamankan barang-barang sengketa dari kemungkinan
dipindahtangankan.dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan,
dan untuk menjamin pelaksanaan putusan hakim sebagaimana mestinya, sekiranya
tuntutan dalam pokok perkara dikabulkan oleh hakim.
4.
Macam-macam
Penyitaan
Dari segi bentuk,
dikenal sita revindikatoir (revindicatoir beslaag), sita konservatoir
(conservatoir beslaag)dan sita eksekutorial (executorial beslaag). Dilihat dari
segi bentuk atau objek, sita konservatoir pada garis besarnya dibedakan atas
sita barang bergerak, sita barang tidak bergerak, sita atas kapal laut, dan
sita atas kapal terbang. Selain itu, sita jaminan ini dapat juga dikelompokkan
sebagai sita jaminan yang tidak hanya diletakkan terhadap barang milik tergugat
(sita conservatoir) tetapi juga barang-barang milik penggugat yang ada pada
penguasaan tergugat sendiri (sita revindicatoir). Di dalam praktik peradilan
dikenal beberapa macam sita, yaitu :
a.
Sita
revindicatoir
b.
Sita
conservatoir
c.
Sita
marital, dan
d.
Sita
eksekutorial
Pada prinsipnya
semua barang milik debitur, baik bergerak dan tidak bergerak, dapat diletakkan
sita jaminan. Pasal 1311 KUHPerdata mengatakan, pada asasnya semua barang
bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggungan untuk suatu perikatan
yang bersifat perorangan. Pengecualiannya terutama adalah hak-hak perorangan
(pasal 823 dan pasal 827 KUHPdt). Selain itu juga hak untuk mendapatkan ganti
kerugian dalam hubungan perburuhan tidak boleh dilakukan sita untuk menjalankan
putusan hakim (pasal 34 UU No. 2 Tahun 1952 Jo. UU 33 Tahun 1947). Dalam
pembahasan ini sita jaminan dilihat dari bentuk atau objeknya. Pembagian ini
sesuai dengan yang dikemukakan Sudikno Mertokusumo bahwa sita
jaminan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sita jaminan terhadap barang
miliknya sendiri (pemohon = penggugat) dan sita jaminan terhadap barang milik
debitur. Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri (pemohon/penggugat)
meliputi:
a.
Sita
revindicatoir (ps. 226 HIR/ ps 260 RBg)
b.
Sita Marital
(ps. 823-823j Rv)
Adapun sita jaminan
terhadap barang milik debitur, yang lazim disebut sita conservatoir, barang
yang dapat disita secara conservatoir meliputi :
a.
Sita
conservatoir atas barang bergerak milik debitur/tergugat (Pasal 227 jo. Pasal
261 jo. 208 Rv);
b.
Sita
conservatoir atas barang tetap milik debitur/tergugat (pasal 227, pasal
197,pasal 198, pasal 199 HIR/pasal 208, pasal 214 RBg);
c.
Sita
conservatoir atas barang bergerak milik debitur/ berada di tangan pihak ketiga
(pasal 728 Rv, Pasal 197 ayat 8 HIR/ pasal 211 RBg);
d.
Sita
conservatoir terhadap kreditur/penggugat sendiri (pasal 750 a Rv);
e.
Sita
conservatoir atau Pandbeslag (pasal 751-756 Rv);
f.
Sita
conservatoir barang debitur orang asing (pasal 757 Rv);
g.
Sita
conservatoir atas pesawat terbang (pasal 763-h-763k Rv).
Pembagian ini telah
banyak dipakai oleh pakar hukum dan juga oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan
pembagian tersebut, yang akan dibahas adalah meliputi jaminan yang dapat
diletakkan terhadap barang milik penggugat, barang tetap milik debitur, barang
bergerak milik debitur, barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak
ketiga, sita gadai, sita atas barang debitur yang tidak mempunyai tempat yang
dikenal di indonesia atau orang asung yang bukan penduduk indonesia, barang
kreditur, sita atas pesawat terbang dan sita atas milik negara.
B. Sita Revindicatoir
Pemilik
barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat minta, baik
secara lisan maupun tertulis kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang
yang memegang barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita. Penyitaan
ini disebut sita revindicatior.
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah
setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps.1977
ayat 2, 1751 BW). Tujuan penyitaan ini agar setiap pemilik barang yang
barangnya berada di tangan orang lain dapat mencegah barang miliknya tersebut
dialihkan atau diasingkan oleh pihak yang menguasainya. Jika mobil milik A
dikuasai oleh B, maka dalam persidangan gugatan perdata, A dapat mengajukan
sita revindicatoir atas mobil miliknya tersebut dengan tujuan
agar B tidak mengalihkannya. Barang yang dapat disita secara revindicatoir hanyalah
berang bergerak, karena barang tidak bergerak seperti misalnya tanah sulit atau
jarang sekali untuk dialihkan atau diasingkan.
Selain pemilik barang, orang yang mempunyai hak reklame juga
dapat mengajukan sitarevindicatoir. Hak reklame merupakan hak tagih yang
dimiliki oleh penjual barang bergerak. Sitarevindicatoir pemilik
hak reklame bertujuan agar barangnya yang telah diserahkan tapi belum dibayar
dalam suatu transaksi jual-beli dapat diamankan terlebih dahulu agar tidak
dialihkan atau diasingkan oleh pembeli.
Untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak
perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum
dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang
bersangkutan (ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Oleh karena tidak perlu ada
dugaan akan digelapkannya barang bergerak tersebut, maka sudah wajarlah kiranya
kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada
pihak tersita untuk disimpannya atau dapat juga barang tersebut disimpan di
tempat lain yang patut. Akibat hukum daripada sita revindicatior ini ialah
bahwa pemohon atau penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah
disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk mengasingkannya. Apabila
gugatan penggugat dikabulkan, maka dalam dictum putusan, sita revindicatior itu
dinyatakan sah dan berharga dan diperintahkan agar barang itu bersangkutan
diserahkan kepada penggugat, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita
revindicatoir yang telah dijalankan itu dinyatakan dicabut.
C. Sita Conservatoir
Sita conservatoir merupakan sita jaminan tehadap barang milik debitur atau tergugat. Sitaconservatoir merupakan
tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada
pengadilan, yaitu berupa penjaminan agar dilaksanakannya putusan perdata dengan
cara membekukan barang milik tergugat. Barang yang dibekukan tersebut nantinya
dapat digunakan untuk melaksanakan putusan pengadilan, misalnya dengan menjual
barang yang disita dan uangnya digunakan untuk membayar kewajiban tergugat
kepada penggugat sesuai putusan hakim. Terhadap sita conservatoir,
tergugat juga dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar sita atas barangnya
tersebut dicabut. Permohonan pencabutan itu dapat dikabulkan oleh hakim asalkan
tergugat dapat menyediakan tanggungan yang mencukupi.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap
berada di tangan tergugat untuk disimpannya dan dijaganya, atau dapat juga
disimpan di tempat lain, dan tergugat dilarang mengalihkan barang tersebut.
Dengan adanya sita conservatoir, tergugat sebagai “pemilik barang”
kehilangan kewenangannya atas barang miliknya itu. Selain terhadap barang
bergerak, sitaconservatoir juga dapat diajukan atas barang tidak
bergerak milik tergugat. Penyitaan atas barang tidak bergerak milik tergugat
dilakukan dengan mengumumkan penyitaan barang tidak bergerak tersebut oleh
kepala desa setempat di tempat barang itu disita.
Sita conservatoir, juga dapat dilakukan
terhadap barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga. Hal
ini misalnya terjadi karena tergugat memiliki piutang terhadap seorang pihak
ketiga. Untuk menjamin haknya atas pelaksanaan putusan, penggugat dapat
melakukan sitaconservatoir atas barang bergerak milik debitur yang
di tangan pihak ketiga itu. Sita conservatoir atas barang bergerak milik
tergugat yang berada di tangan pihak ketiga disebut juga derdenbeslag yaitu
apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, kreditur yang menjamin
haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang yang bergerak milik
debitur yang ada pada pihak ketiga tersebut. Kreditur dapat menyita atas dasar
akta autentik atau akta di bawah tangan, yakni uang dan barang yang menjadi
piutang debitur yang ada pada pihak ketiga. Sita dalam bentuk demikian,
dibolehkan dengan sita rangkap (ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdenbeslag sebagai
sita conservatoir tapi sebagai sita eksekutorial.
D. Sita Marital
Menurut Ny. Retno Wulan Sutantio Sita Marital adalah
: Sita yang dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang-barang suami, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya
sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya selama proses berlangsung
barang-barang tersebut jangan dihilangkan oleh suami.
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan
uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak
dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan
sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya,
dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai
jatuh di tangan pihak ketiga.
Tujuan Sita Marital sudah jelas yaitu untuk menjamin
agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat
putusan yang berkekuatan hukum tetap.Apalagi,jika selama proses pemeriksaan
perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, maka semakin
besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan atas harta perkawinan.
Misalnya, atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama
pemeriksaan perkara berlangsung dan harta perkawinan semuanya di kuasai suami.
Hal ini seolah-olah memberi kesempatan kepada suami untuk menjual atau
mengelapkan sebagian harta perkawinan. Sebagai upaya menjamin untuk
keselamatan, keutuhan harta perkawinan (harta bersama) undang-undang memberi
hak kepada isrti untuk mengajukan permohonan sita marital. Sita marital ini
mempunyai sumber hukum formil yaitu pasal 215 KUHPerdata undang-undang
no.1/1974 jo.PPNo.9/1975 pasal 24(2) huruf c. Yang disita secara maritaal ialah
baik barang bergerak dari kesatuan harta kekayaan atau milik istri meupun
barang tetap dari kesatuan harta kekayaan.(ps. 823 Rv).
HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti
yang dapat kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam
praktek peradilan sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan. Sita Marital bertujuan bukan untuk menjamin
dilaksanakannya penyerahan barang, melainkan agar barang yang disita tidak
dialihkan. Fungsinya untuk melindungi hak pemohon atau penggugat selama
pemeriksaan sengketa perceraian berlangsung, yaitu agar harta perkawinan
dibekukan terlebih dahulu sampai sengketa percerainnya diputuskan, agar jangan
sampai harta perkawian tersebut dialihkan oleh pihak (suami atau istri) yang
menguasainya.
B. Sita Eksekutorial
Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah
pelaksanaan suatu putusan pengadilan agama karena pihak tergugat tidak mau
melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun pihak
pengadilan agama telah memperingatkan pihak tergugat agar putusan pebgadilan
agama yang telah berkekuatan hukum tetap itu supaya dilaksanakan oleh tergugat
secara sukarela sebagaimana mestinya.sita eksekusi ini biasa dilaksanakan
terhadap suatu putusan yang mengharuskan tergugat membayar sejumlah uang.
Berdasarkan pengertian sita eksekusi sebagaimana
tersebut di atas, maka sita eksekusi mempunyai ciri-ciri yang berlainan dengan
sita jaminan dan sita revindikasi.adapun ciri-cirinya ialah:
1.
Sita
eksekusi dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan sebelumnya tidak dilaksanakan sita terhadap barang-barang yang
disengketakan.
2.
Tujuan sita
eksekusi adalah untukmemenuhi pelaksanaan putusan pengadilan agama dan berakhir
dengan tindakan pelelangan.
3.
Hanya
terjadi dalamhal-hal yang berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang dan ganti rugi.
4.
Kewenangan
pemerintah sita eksekusi sepenuhnya berada di tangan ketua pengadilan agama bukan
atas perintah ketua majelis hakim.
5. Dapat dilaksanakan secara berulang-ulang sampai pembayaran atau pelunasan
sejumlah uang dan ganti rugi terpenuhi.
Sita eksekusi bertujuan untuk merampas langsung
harta kekayaan tergugat untuk segera dijuallelang guna memenuhi pelaksanaan
putusan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam amar putusan, saat berfungsinya
sita eksekusi terhitung mulai putusan pengadilan agama tersebut mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Jadi tidak dipergunakan selam proses pemeriksaan
dalampersidangan berlangsung efektifitas fungsi sita eksekusi sebagai upaya
paksa pelaksanaan putusan pengadilan agama, terjadi jika pihak tergugat tidak
bersedia melaksanakan putusan pengadilan agamasecara sukarela meskipun telah
diberikan teguran sebagaimana mestinya. Efektivitas pelaksanaan sita eksekusi
dengan sendirinya lumpuh jika pihak tergugat bersedia memenuhi semua isi
putusan pengadilan agamaitu secara sukarela(vrijwilig).
Sangat membantu, terima kasih
BalasHapus