Senin, 21 Maret 2016

Materi Kuliah Hukum Acara Perdata : Gugatan


A.     Pengertian Dan Isi Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.

Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk hukum yang dihasilkan adalah putusan hukum.

1.      Perbedaan Perkara voluntair Dan Contentieus
Voluntair juga disebut juga dengan permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:
1)      Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
2)      Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa
3)      Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan

Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus ini diantaranya:
1)      Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat
2)      Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para pihak.

Jadi perbedaan antara Voluntair dan Contentieus adalah sebagai berikut :
1)      Contentieus
a.      Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat
b. Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c.    Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
d.      Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.

2)      Voluntair
a.      Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
b.       Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat administrative.
c.       Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu hal.
d.      Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.

2.      Tahapan Dan Tatacara Mengajukan Gugatan Atau Permohonan
Setelah kita membicarakan perbedaan antara voluntair dan contetieus maka selanjutnya saya akan menjelaskan tatacara bagaimana mengajukan gugatan atau permohonan.
Tahapan-tahapan tersebut yaitu:
a.      Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Pihak yang berpekara.
2.      Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
3.      Kuasa.
4.      Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan
5.      Kewenangan Pengadilan
Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.

b.      Tahap pembuatan permohonan atau gugatan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani olehketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya terdiri atas 3 (tiga) bagian adapun mengenai isi gugatan atau permohonan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg tidak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 No. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat 3 (tiga) bagian yaitu:
1.      Identitas para pihak.
Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan, agama, kewarganegaraan.
2.      Posita (Uraian Perkara)
Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugtan.
3.      Petitium (Permohonan)
Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam putusan perkara.

c.       Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan.
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan sidang.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan oleh panitera disampaikan kepada ketua pengadilan untuk dapat menunjuk Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang disebut Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera sidang sendiri.

3.      Tahap Pemeriksaan Permohonan Atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal 3 (tiga) kali, apabila :
1)      Penggugat tidak hadir setelah pemanggilan maka kemudian gugatan dinyatakan gugur.
2)      Tergugat tidak hadir setelah pemanggilan maka kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
3)      Terdapat beberapa tergugat yang hadir dan ada yang tidak hadir setelah pemanggilan, maka kemudian pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
4)      Penggugat dan tergugat hadir setelah pemanggilan, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan disampaikan dalam ilustrasi berikut ini :
1)         Apabila penggugat dan tergugat hadir maka mula-mula majelis hakim memasuki ruang persidangan diikuti panitera sidang. Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan dan ketua membuka persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum (apabila sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk umum (apabila sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
2)         Hakim menanyakan identitas para pihak baik pihak penggugat atau tergugat
3)         Hakim mengupayakan perdamaian pada para pihak dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai dan menetapkan hari sidang berikutnya tanpa dipanggil.
4)         Apabila kedua belah pihak berdamai, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya samutusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan esekusi.
5)         Apabila tidak tercapai perdamaian maka dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan atau tidak, kalau ada maka persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir dalam sidang berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
6)         Apabila tidak ada perubahan atau sudah ada perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Setelah pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada tergugat menyusun jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
7)         Dalam sidang selanjutnya jawaban dibacakan dan penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan replik, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat menyusun replik dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
8)         Sidang selanjutnya replik dibacakan dan tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menyusun duplik dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
9)         Sidang selanjutnya duplik dibacakan kemudian pihak penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
10)     Sidang selanjutnya setelah penggugat mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil-dalail sanggahannya, kemudian sidang ditunda untuk memebri kesempatan kepada tergugat untuk pembuktian.
11)     Sidang selanjutnya setelah pembuktian tergugat selesai kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat dan tergugat menyusun kesimpulan.
12)     Sidang selanjutnya penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda untuk musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan.
13)     Dalam sidang selanjutnya, putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang tidak puas dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan.


B.      Pencabutan Dan Perubahan Gugatan
Sebagai manusia biasa tidak mustahil apabila dalam menyusun gugatannya penggugat khilaf atau lupa mengemukakan sesuatu hal yang penting dalam gugatannya sehingga agar gugatannya berhasil perlu mencabut gugatannya atau mengadakan perubahan atas gugatan yang telah dimasukan ke pengadilan.

Tentang pencabutan dan perubahan gugatan ini tidak diatur baik dalam HIR maupun RBg akan tetapi diatur dalam Relegment op de Rechtsvordering (Rv).

1.      Mencabut Gugatan
Pencabutan gugatan sendiri dapat dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa di persidangan atau sebelum tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat. Kalau pencabutan dilakukan sebelum perkara diperiksa dipersidangan atau sebelum tergugat memberikan jawabannya, maka tergugat secara resmi belum tahu akan adanya gugatan itu, yang secara resmi belum terserang kepentingannya. Dalam hal ini tidak perlu ada persetujuan dari pihak tergugat. (Rv pasal 271). Sebaliknya jika pencabutan itu terjadi setelah tergugat memberikan jawaban atas gugatan penggugat, maka gugatan tidak dapat dicabut atau ditarik kembali oleh penggugat kecuali disetujui oleh tergugat. (Rv pasal 271 ayat 2).

Dari ketentuan tersebut diatas akan menimbulkan konsekuensi hukum, yakni terjadinya kebolehan penggugat mengajukan gugatannya kembali, apabila penggugat mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawabannya. Sedangkan penggugat yang mencabut gugatannya sesudah tergugat memberikan jawaban, tidak dapat mengajukan gugatannya kembali, karena dengan pencabutan gugatan tersebut, penggugat dianggap telah melepaskan haknya.

Berikut skema dan tatacara pencabutan gugatan
PERADILAN
PROSES ADMINSITRASI
KETENTUAN
Tingkat Pertama
1.      Pencabutan gugatan sebelum panggilan   sidang Relaas) disampaikan kepada tergugat atau para tergugat;
1.      Pencabutan bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan tergugat, dengan cara penggugat membuat surat pencabutan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan tersebut;
2.      Pencabutan gugatan sebelum tergugat      mengajukan jawaban;
2.      Pencabutan bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan tergugat;
3.      Pencabutan gugatan sesudah tergugat mengajukan jawaban
3.      Pencabutan gugatan harus meminta persetujuan tergugat, apabila tergugat setuju, maka perkara tersebut bisa dicabut, apabila tergugat tidak setuju, maka perkaranya akan berjalan seperti biasa;

Tingkat Banding
1.      Berkas perkara banding belum dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Akta Permohonan Banding belum diberitahukan kepada pihak terbanding;
1.      Pencabutan bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan terbanding, dengan cara penggugat membuat surat pencabutan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut;
2.      Berkas perkara banding tersebut sudah dikirim ke Pengadilan Tingkat Banding;
2.      Pencabutan bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan terbanding, dengan cara penggugat membuat surat pencabutan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut;

Tingkat Kasasi
Berkas perkara Kasasi belum dikirim  atau sudah di kirimkan ke Mahkamah Agung RI;
Pencabutan bisa dilakukan dengan cara pemohon Kasasi membuat surat pencabutan permohonan kasasi ditujukan kepada ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut;


2.      Perubahan Gugatan
Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR/Rbg, tetapi diatur dalam Rv (Rechtsvordering) yaitu pasal 127, yang berbunyi :
Pasal 127 Rechtsvordering
Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.”

Selain itu, ada juga beberapa yurisprudensi atau putusan Mahkamah Agung yang bisa dan sering dijadikan dasar hukum mengenai praktik perubahan gugatan dalam persidangan, antara lain sebagai berikut :
a.      Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 :
Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;
b.      Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No. 823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian;
c.       Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 :
Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;
d.      Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 :
Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair.
e.      Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Karena perubahan tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan Hukum Acara dan demi Peradilan yang cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun dalam gugatan)
f.        Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 :
Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara); sehingga terjadi perubahan subyek hukum gugatan (Vide = Putusan MA-RI No. 305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);
g.      Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 :
Perubahan gugatan itu tidak diterima apabila perubahan itu dilakukan pada taraf pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil, tangkisan-tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan kedua pihak sebelumnya telah mohon putusan;
h.      Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 4 Oktober 1972 :
Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan (Posita) dari Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR;

Dari beberapa putusan Mahkamah Agung di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan gugatan dalam persidangan diperbolehkan dengan ketentuan:
1.      Tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata.
2.      Tidak menimbulkan kerugian terhadap Hak Pembelaan tergugat.
3.      Tidak mengakibatkan perubahan posita.
4.      Tidak merubah atau menyimpangi kejadian materiil dalam gugatan.
5.      Tidak mengakibatkan perubahan subyek hukum dalam gugatan.

Perubahan isi gugatan selama memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, dapat diajukan dalam jangka waktu:
1.      Sebelum hakim membacakan surat gugatan.
Jika perubahan diajukan sebelum hakim membacakan gugatan, maka perubahan ini tidak memerlukan persetujuan dari tergugat.
2.      Setelah hakim membacakan gugatan, sebelum tergugat mengajukan jawaban (pasal 127 Rv).
Jika perubahan diajukan setelah hakim membacakan gugatan, hal ini diperbolehkan selama tergugat belum memberikan jawaban. Tetapi pengajuan ini memerlukan persetuuan dari tergugat.

Perubahan gugatan tidak dibenarkan pada tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai pada saat mana dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah pihak sebelum itu sudah mohon putusan, hal tersebut berdasarkan pada Putusan MA-RI No. 1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991  tentang Perubahan surat/gugatan perdata dapat diterima/dibenarkan bila perubahaan itu dilakukan sebelum Hakim membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan kepada Tergugat masih diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut.

Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan gugatan tidak terdapat dalam Pasal 127 Rv.  Namun, dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku pedoman Mahkamah Agung, dijelaskan mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan gugatan, yaitu:
a.      Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam buku pedoman, yang menyatakan:
1.      Diajukan pada hari sidang.
2.      Dihadiri oleh para pihak.
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:
1.      Di luar hari sidang
2.      Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap sangat merugikan kepentingan tergugat.

b.      Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh Mahkamah Agung, yang menyatakan:
1.      Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan gugatan yang bersangkutan
2.      Memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.

c.       Tidak menghambat acara pemeriksaan
Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan. Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses penyelesaian perkaranya.

C.      Penggabungan Gugatan
Penggabungan atau kumulasi ialah gabugan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu proses perkara, ada beberapa macam kumulasi:
1.      Kumulasi subjektif (penggabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan) yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg) adalah penggugat atau beberapa penggugat melawan (menggugat) beberapa orang tergugat, misalnya Kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang debitur (B, C, D) yang berhuntang secara tanggung renteng (bersama). Atau beberapa penggugat menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwa tuntutan tersebut harus ada hubungan hukum yang erat satu sama lain (koneksitas) (Putusan MA tanggal 20 juni 1979 Nomor 415 K/Sip/1975). Kalau tidak ada hubunganya harus digugat secara tersendiri.
Dalam bentuk ini yang digabung adalah pihak dalam gugatan, misalnya dalam surat gugatan terdapat penggugat atau beberapa penggugat melawan seorang atau beberapa orang tergugat, sehingga dapat terjadi variable sebagai berikut:
a.      penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal ini, kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak penggugat;
b.      sebaliknya, pengugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak tergugat;
c.       dapat juga terjadi kumulasi subjektif yang meliputi pihak penggugat dan tergugat .Pada kumulasi yang seperti itu, penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang tergugat. Sebagai syarat kumulasi gugatan ini harus terdapat adanya hubungan hukum di antara para pihak;

2.      Kumulasi objektif (penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam gugatan) yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan), misalnya A menggugat B selain minta dibayar hutang yang belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang tadinya telah dipinjam. Diperbolehkan di dalam praktek proses perdata di pengadilan Raad Justisi dahulu, meskipun tidak ada peraturan yang spesial mengenai kumulasi tersebut. Hal ini dianggap tidak dilarang oleh undangundang berhubung dengan misalnya pasal 103 Reglement op de Rechsvordering yang melarang kumulasi gugat prossesore dengan gugat petitore dan pasal ini dipandang sebagai suatu kekecualian.

3.      Intervensi ialah ikut sertanya pihak ketiga kedalam suatu proses perkara. Ada 3 (tiga) macam intervensi, yaitu :
a.      Voeging, masuknya pihak ketiga atas kehendaknya sendiri untuk membantu salah satu pihak menghadapi pihak lawan. Dalam hal ini pihak ketiga berkedudukan sebagai penggugat atau tergugat.
b.      Vrijwaring ialah pihak ketiga ditarik oleh tergugat dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi tergugat.
c.       Tussencomst, ialah pihak ketiga masuk kedalam satu proses perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannaya sendiri. Dengan demikian intervensi disini berhadapan dengan penggugat dan tergugat asal sekaligus.

Dari bentuk penggabungan tersebut, yang digabung adalah materi gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatan, yaitu beberapa gugatan digabung dalam satu gugatan. Namun agar penggabungan gugatan tersebut sah dan memenuhi syarat, maka di antara gugatan itu harus terdapat hubungan erat (Innerlijke samenhangen). Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
1.      Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersamasama dalam gugatan.
2.      Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
3.      Tuntutan tentang bezit (penguasaan suatu benda) tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom (hak atas suatu benda) dalam satu gugatan.

Penggabungan gugatan juga dapat menghindari terjadinya kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan, penggabungan yang seperti itu, dianggap bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig).

Ada 2 (dua) syarat pokok penggabungan gugatan, yaitu :
a.      Terdapat hubungan erat Menurut Soepomo “antara gugatangugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin” (innerlijke samenhang). Dalam praktek, tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lain;
b.      Terdapat hubungan hukum Terdapat hubungan hukum antara para penggugat atau antara para tergugat. Jika dalam komunikasi subyektif yang diajukan beberapa orang sedangkan diantara mereka maupun terhadap obyek perkara sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para penggugat atau tergugat terdapat hubungan hukum atau tidak.

Ada 2 (dua)  manfaat dan Tujuan penggabungan gugatan, yaitu :
a.      Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/bertentangan Manfaat yang lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai kasus yang memiliki koneksitas, misalnya apabila pada pengadilan negeri tertentu terdapat dua atau beberapa perkara yang saling berhubungan, serta para pihak yang terlibat sama, lebih tepat perkara itu digabung menjadi satu, sehingga diperiksa oleh satu majelis saja.
b.      Untuk mewujudkan Peradilan Sederhana Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebaliknya, jika masingmasing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses penyelesaian terhadap masing-masing perkara sehingga azas peradilan : “sederhana, cepat, dan biaya ringan” tidak ditegakkan.

Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan diperkenankan apabila penggabungan itu menguntungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling berbeda/bertentangan, beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan apabila antara tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat dikumulasikan dalam satu gugatan. Apabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak berwenang memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan (Pasal 103 Rv).

Jadi dapat disimpulkan bahwa penggabungan atau kumulasi gugatan ialah gabugan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu proses perkara, ada beberapa macam kumulasi :
1.      Kumulasi subjektif (penggabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan),
2.      Kumulasi objektif (penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam gugatan),
3.      Intervensi ialah ikut sertanya pihak ketiga kedalam suatu proses perkara.

D.     Kewenangan Mengadili Atau Kompetensi
Kompetensi pengadilan atau bisa juga disebut dengan yurisdiksi pengadilan di Indonesia secara umum dibagi menjadi dua yakni, kompetensi absolute dan kompetensi relatif.
1.      Kompetensi Absolut.
Kewenangan mutlak adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan pengadilan yang sama (pengadilan negeri dengan pengadilan tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (pengadilan negeri dengan pengadilan agama). Menurut Retnowulan, wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam-macam pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtsmacht. Selain itu, menurut Dr. Muhammad Nasir, SH, MS., kompetensi absolut suatu badan peradilan adalah atribusi kekuasaan berbagai jenis badan peradilan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.Menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, ada 4 macam lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu:
a.      PeradilanUmum (PU)
b.      Peradilan Agama (PA)
c.       Peradilan Militer (PM), dan
d.      Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

2.      Kompetensi relatif.
Kompetensi relatif yaitu kewenangan peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara berdasarkan daerah Hukumnya dimana wilayah tergugat bertempat tinggal. Dalam bukunya, M. Nur Rasaid, SH mendefinisikan kewenangan relatif, yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar-pengadilan yang serupa atau sejenis. Menurut Dr. Muhammad Nasir, SH, MS., kompetensi relatif adalah distribusi kekuasaan badan peradilan sejenis untuk memiliki kewenangan menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 118 HIR menetapkan bahwa setiap perkara perdata dimulai dengan pengajuan surat gugatan dan menetapkan pengadilan negeri yang berwenang adalah yang terletak dalam daerah hukum si tergugat bertempat tinggal. Sedangkan menurut Retnowulan, wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat, pasal 118 HIR, menyangkut kekuasaan relatif yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat tinggal tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan “Actor Sequitur Forum Rei”. Pasal 17 BW menyatakan bahwa tempat tinggal seseorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya.

Ada beberapa poin yang menentukan Kompetensi Relatif, namun sebelumnya coba perhatikan ketentuan hukum yang mendasarinya :
Pasal 118 HIR :
(1)   Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenamya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .)
(2)   Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) "Reglemen Susunnan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama.
(3)   Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut.
(4)   Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 9511, 4', 5'; KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.)

Pasal 118 HIR ini hampir mirip dengan Pasal 142 RBG, hanya saja terdapat sedikit perbedaan, misalnya Pasal 142 HIR terdiri dari 5 ayat dan pasal 118 HIR terdiri dari 4 ayat, dan dalam HIR tidak disebutkan dengan jelas jika barang yang tidak bergerak itu terdapat di beberapa tempat dengan yurisdiksi PN yang berbeda. Dalam 142 RGB menyatakan dengan jelas dalam ayat 5 yang berbunyi:
“Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap tersebut; jika barang tetap itu terletak di dalam  wilayah beberapa pengadilan negeri gugatan itu diajukan kepada salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan penggugat. (IR. 119.)”

Dari dua pasal di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Gugatan diajukan di alamat tergugat (asas Actor Squitur Forum Rei),
2.      Gugatan diajukan di tempat tergugat tinggal sebenarnya secara fisik,
3.      Jika tergugat lebih dari satu orang, tergugat dapat memilih salah di tempat salah satu tergugat,
4.      Jika yang digugat yakni debitur utama dan penanggungnya maka gugatan diajukan di wilayah debitur utama atau salah seorang debitur utama,
5.      Jika alamat tergugat dan tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka diajukan di pengadilan tempat tinggal penggugat atau salah satu penggugat.
6.      Jika tergugat tidak dikenal, maka dapat diajukan ke Pengadilan tempat tinggal penggugat,
7.      Untuk barang tidak bergerak, maka tuntutan diajukan di daerah pengadilan barang tersebut.
8.      Jika barang tidak tetap berada di lebih darisatu daerah hukum PN maka diajukan di salah satu daerah hukum PN dari keberadaan benda tersebut,
9.      Jika ditentukan dalam perjanjian antar kedua belah pihak terkait pemilihan PN yang akan ditunjuk untuk memproses sengketa mereka, maka jika mau gugatan boleh diajukan di PN yang dipilih tersebut.

Sekilas hal-hal tersebut diatas terlihat muadah namun dalam praktik ini bisa menjadi sangat rumit, hal yang tidak pernah dibayangkanpun dapat terjadi. Tentu masih ada jenis gugatan lain yang perlu diketahui tempat untuk diajukan gugatan, dan secara tegas tidak dinyatakan di dalam kedua pasal di atas, diataranya :
1.      Dalam hal tergugat adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka pengadilan negeri yang berwenang adalah pengadilan negeri dimana ia bekerja (Pasal 20 BW: “Mereka yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum, dianggap bertempat tinggal di tempat mereka melaksanakan dinas”);
2.      Dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajuka kepada pengadilan negeri tempat tinggal orang tuanya, walinya atau pengampunya (Pasal 21 BW: “Seorang perempuan yang telah kawin dan tidak pisah meja dan ranjang, tidak mempunyai tempat tinggal lain daripada tempat tinggal suaminya; anak-anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal salah satu dan kedua orang tua mereka yang melakukan kekuasaan orang tua atas mereka, atau tempat tinggal wali mereka; orang-orang dewasa yang berada di bawah pengampuan mengikuti tempat tinggal pengampuan mereka”);
3.      Tentang buruh yang menginap di tempat majikannya, maka pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikannya (pasal 22 BW: “Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal yang lalu, buruh mempunyai tempat tinggal di rumah majikan mereka bila mereka tinggal serumah dengannya”);
4.      Dalam hal permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan negeri yang berwenang adalah pengadilan negeri dalam daerah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri (Pasal 25 jo. Pasal 63 ayat (1(b)) Undang-Undang No.1 tahun 1974, pasal 38 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975);
5.      Tentang gugatan perceraian dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat kediaman penggugat dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri dan ketua pengadilan negeri tempat diajukannya gugatan menyampaikan permohonan tersebut melalui perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut (Pasal 40 jo. Pasal 63 ayat (1(b)) UndangUndang No. 1 tahun 1974, pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).

Selain itu di dalam Reglamen Acara Perdata (RV) yang dalam praktik masih sering sekali dijadikan landasan penentuan yurisdiksi pengadilan dalam menggugat suatu perkara. Terkait dengan yurisdiksi diatur di dalam Pasal 99 dan Pasal 100. Pasal 99 RV (Reglemen Acara Perdata) berbunyi:
1)      Seorang tergugat dalam perkara pribadi yang murni mengenai benda-benda bergerak dituntut di hadapan hakim di tempat tinggalnya. (ISR. 136; KUHPerd. 1724; Rv. 100, 102, 133, 2442', 260, 926; IR. 118.)
2)      Jika tempat tinggalnya di Indonesia tidak dikenal, di hadapan hakim di tempat tinggalnya yang nyata. (KUHPerd. 17; Rv. 670.)
3)      Jika ia tidak mempunyai tempat tinggal yang diakui, di hadapan hakim di tempat tinggal penggugat. (Rv. 100.)
4)      Jika mengenai pemegang-pemegang saham tidak atas nama dalam pinjaman-pinjaman uang atau perserikatan-perserikatan yang tidak diketahui siapa pemiliknya, maka mereka juga digugat di hadapan hakim di tempat tinggal penggugat. (KUHD 40 dst.; Rv. 670.)
5)      Jika dalam hal-hal  tersebut di atas ada beberapa penggugat, gugatan dilakukan di hadapan hakim dari salah satu di antara para penggugat atas pilihan mereka.
6)      (s. d. u. dg. S. 1912521.) Dalam hal ada beberapa tergugat, di hadapan hakim di tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan penggugat. Dalam hal para tergugat satu sama lain mempunyai hubungan sebagai tergugat pokok dan penjamin, maka gugatan dilakukan di hadapan hakim di tempat tinggal orang yang menjadi tergugat pokok atau salah satu dari mereka, kecuali dalam hal yang diatur dalam alinea kedua pasal 6 RO.
7)      (s. d. t. dg. S. 1912521.) Jika gugatan mengenai tagihan pembayaran benda-benda bergerak yang telah dijual dan diserahkan dapat dilakukan baik di hadapan hakim di tempat tinggal tergugat maupun di hadapan hakim di tempat tinggal pembayar, maka gugatan seharusnya dilakukan atas pilihan penggugat. (Rv. 9262.).
8)      Dalam perkara mengenai hak atas benda tetap, di hadapan hakim yang di wilayah hukumnya terletak benda tetap tersebut. (Rv. 102; KUHPerd. 506 dst.)
9)      Dalam hal bendabenda tetap terletak di dalam wilayah hukum beberapa raad van justitie, gugatan dilakukan di hadapan hakim di ibu kota di mana terletak benda tetap itu, dan jika tidak ada ibu kota, di hadapan Majelis Hakim yang di dalam wilayah hukumnya terletak salah satu benda tetap itu, atas pilihan penggugat. (Rv. 498.).
10)  Dalam perkara-perkara campuran, kecuali dalam perkara warisan yang diatur dalam pasal ini, di hadapan hakim yang di dalam wilayah hukumnya terletak benda tetap itu atau di tempat tinggal tergugat, atas pilihan penggugat. (Rv. 102.).
11)  Dalam perkara persekutuan-persekutuan atau perserikatan dagang, selama masih berdiri di tempat kedudukannya, dan sesudah dibubarkan, baik di hadapan hakim yang sama itu maupun di tempat tinggal salah seorang anggota panitia pembubarnya. (KUHPerd. 1618 dst., 1653 dst.; KUHD 15 dst., 32; Rv. 650.)
12)  Dalam perkara warisan: (KUHPerd. 830 dst., 874 dst.; Rv. 7.)
a.      karena adanya saling menuntut di antara para waris, termasuk tentang pembagian harta benda karena pembatalan pembagian harta benda (KUHPerd. 1066 dst., 1112, 1124; Rv. 689.).
b.      karena adanya tuntutan para penagih yang meninggal sebelum diadakan pembagian harta benda (KUHPerd. 1100 dst., 1107; Rv. 7.).
c.       karena adanya tuntutan yang berhubungan dengan pelaksanaan penetapan hakim tentang kematian sampai putusan akhir (KUHPerd. 24, 957 dst., 1005 dst.; Rv. 106.) diajukan di hadapan hakim yang di dalam wilayah hukumnya warisan jatuh terbuka. (KUHPerd. 23.)
13)  (s.d.u. dg. S. 1906348.) Dalam perkaraperkara tentang kepailitan atau keadaan tidak mampu membayar di hadapan raad van justitie yang telah menyatakan tergugat dalam keadaan pailit atau dalam keadaan tidak mampu membayar dan yang putusannya mempunyai akibat-akibat hukum, jika kepailitan dinyatakan oleh H.G.H., di hadapan raad van justitie yang salah satu anggotanya diangkat sebagai komisaris. (F. I dst., 79 dst.; Rv. 661.)
14)  Dalam perkara penanggungan, di hadapan hakim yang memeriksa perkara yang asli yang masih berjalan. (Rv. 70 dst., 76.)
15)  Dalam perkara pertanggungjawaban (rekening) bagi orang-orang yang karena hukum diangkat sebagai penanggung jawab, di hadapan hakim yang mengangkatnya dan bagi wali atau pengampu di hadapan raad van justitie yang menunjuknya sebagai wali atau pengampu, atau dalam dua hal itu di hadapan raad van justitie di tempat tergugat, atau tempat pilihan penggugat. (KUHPerd. 409 dst., 452, 463, 472, 983; Rv. 674 dst.)
16)  Jika ada tempat tinggal pilihan, di hadapan hakim di tempat tinggal pilihan itu atau di hadapan hakim di tempat tinggal nyata tergugat, atas pilihan penggugat (KUHPerd. 24 dst.).
17)  Dalam perkara mengenai biaya dan upah pengacara atau juru sita, di hadapan pengadilan dimana biaya-biaya itu dikeluarkan. (KUHPerd. 1970, 1974; Rv. 59, 607 dst., 610.)
18)  (s.d.t. dg. S. 1908522.) Dalam hal Pemerintah Indonesia mewakili Negara bertindak sebagai penggugat atau tergugat, maka Jakarta dianggap sebagai tempat tinggalnya. XRv. 621.) Pasal 100 RV berbunyi: “(s.d.u. dg. S. 1915299, 642.) Seorang asing bukan penduduk, bahkan tidak berdiam di Indonesia, dapat digugat di hadapan hakim Indonesia untuk Perikatan-perikatan yang dilakukan di Indonesia atau di mana saja dengan warga negara Indonesia. (ISR. 136; AB. 3; Rv. 99, 761.)”.

Pasal 100 RV ini jika kita lebih merincikan maka orang yang berada di luar negeri dapat digugat di indonesia. Kemudian jika dikaitkan dengan Pasal 118 (3) HIR maka gugatan diajukan di wilayah hukum pengadilan tempat tinggal penggugat, meskipun syarat yang dinyatakan dalam Pasal 118 (3) HIR tersebut yakni jika tempat tinggalnya tidak diketahui, meskipun alamatnya di luar negeri diketahui dengan pasti, namun yurisdiksi pengadilan, penerapan hukum kita tidak menjangkau ke sana, maka dapat diinterpretasikan bahwa diluar wilayah Republik Indonesia dapat dianggap sebagai tempat tinggal yang tidak diketahui.

Di dalam penerapan ketentuan-ketentuan di atas untuk menerapkan kompetensi relatif, kadang memerlukan analisa disamping hanya mengambil sebuah pasal lalu menerapkannya dalam sebuah kasus hukum. Seperti misalnya, telah ditegaskan di dalam Pasal 118 (1) bahwa gugatan diajukan di tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei), dan di dalam pasal 118 (3) dikatakan terhadap benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di tempat benda itu berada (forum rei sitae), namun jika gugatan yang diajukan merupakan tuntutan ganti rugi yang timbul dari Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata, maka gugatan diajukan di tempat tinggal tergugat, meskipun dasar dari tuntutan atau PMH tersebut timbul dari objek benda tidak bergerak. Seperti, jika ada seseorang yang merobohkan, membakar, mengebom atau merusak vila anda atau salah satu rumah milik anda yang berada di kota lain yang secara administratif dan nyata anda tidak bertempat tinggal di sana, maka jika anda akan menggugat pelakunya untuk meminta ganti kerugian, anda harus menggugatnya di tempat tinggal tergugat (actor squitur forum rei) buka di tempat vila atau rumah anda yang menjadi penyebab gugatan itu berada (forum rei sitae). Yang menjadi perbedaan mendasarnya yakni, jika yang dituntut merupakan objek benda tidak bergerak maka diterapkan asas forum rei sitae, namun jika yang dituntut merupakan ganti kerugian, atau yang lainnya yang bukan terkait dengan sengkta objek benda tidak bergerak tersebut maka gugatannya menggunakan asas actor squitur forum rei.


Jika gugatan diajukan kepada pengadilan yang salah, apakah itu keselahan dalam penentuan kompetensi absolut atau kompetensi relatif, maka akan mengakibatnya gugatan mengandung cacat formil, dan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) atau biasa juga disebut “NO” atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.

2 komentar:

  1. Bagus, namun belum menjawab pertanyaan inti saya.mengenai dapatkah pencabutan keterangan saksi, yg sebelumnya tidak diketahui.

    BalasHapus