A.
Pengertian Dan Isi Gugatan
Gugatan
adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan yang berwenang,
yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan
merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran
suatu hak. Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi
tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal
yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat
dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk hukum yang dihasilkan adalah putusan hukum.
1.
Perbedaan Perkara voluntair Dan Contentieus
Voluntair juga disebut juga dengan
permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan
yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua
pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang
tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini
diantaranya:
1)
Masalah yang diajukan berisi kepentingan
sepihak
2)
Permasalah yang diselesaikan di pengadilan
biasanya tidak mengandung sengketa
3)
Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang
dijadikan lawan
Sedangkan contentious adalah perdata yang
mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan
penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang
mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari
contentieus ini diantaranya:
1)
Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat
dan tergugat
2)
Pokok permasalahan hokum yang diajukan
mengandung sengketa diantara para pihak.
Jadi perbedaan antara Voluntair dan
Contentieus adalah sebagai berikut :
1)
Contentieus
a.
Para pihak terdiri dari penggugat dan
tergugat
b. Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas
pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c. Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa
yang telah di tentukan undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau
pengaruh siapapun.
d.
Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya
mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan
saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.
2)
Voluntair
a.
Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu
pihak saja.
b.
Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan
oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat administrative.
c.
Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan
untuk mengatur sesuatu hal.
d.
Keputusan hakim mengikat terhadap semua
orang.
2.
Tahapan Dan Tatacara Mengajukan Gugatan Atau Permohonan
Setelah kita membicarakan perbedaan antara
voluntair dan contetieus maka selanjutnya saya akan menjelaskan tatacara
bagaimana mengajukan gugatan atau permohonan.
Tahapan-tahapan tersebut yaitu:
Tahapan-tahapan tersebut yaitu:
a.
Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke
pengadilan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Pihak yang berpekara.
2.
Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat
menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
3.
Kuasa.
4.
Pihak yang berpekara di pengadilan dapat
menghadapi dan menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan
kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan
5.
Kewenangan Pengadilan
Kewenangan relative dan kewenangan absolut
harus diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke
pengadilan.
b.
Tahap pembuatan permohonan atau gugatan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya
secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta
huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun
permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada
pihak kemudian ditandatangani olehketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk
berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya terdiri atas
3 (tiga) bagian adapun mengenai isi gugatan atau permohonan dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg tidak mengatur, karena itu diambil
dari ketentuan pasal 8 No. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya
memuat 3 (tiga) bagian yaitu:
1.
Identitas para pihak.
Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan,
agama, kewarganegaraan.
2.
Posita (Uraian Perkara)
Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang
menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hokum yang menjadi
dasar gugtan.
3.
Petitium (Permohonan)
Petitium atau tuntutan berisi rincian apa
saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau
penetapan para kepada para pih.ak terutama
pihak tergughat dalam putusan perkara.
c.
Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan.
Setelah permohonan atau gugatan dibuat
kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan yang berwenang memeriksa dengan
membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka
penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan
sidang.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan oleh
panitera disampaikan kepada ketua pengadilan untuk dapat menunjuk Majelis Hakim
yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang
disebut Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai
ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang.
Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk
panitera sidang sendiri.
3.
Tahap Pemeriksaan Permohonan Atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila
satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan
menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri
sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan
sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan
maksimal 3 (tiga) kali, apabila :
1)
Penggugat tidak hadir setelah pemanggilan
maka kemudian gugatan dinyatakan gugur.
2)
Tergugat tidak hadir setelah pemanggilan maka
kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa
hadirnya pihak tergugat.
3)
Terdapat beberapa tergugat yang hadir dan ada
yang tidak hadir setelah pemanggilan, maka kemudian pemeriksaan tetap dilakukan
dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela
diri.
4)
Penggugat dan tergugat hadir setelah
pemanggilan, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan
disampaikan dalam ilustrasi berikut ini :
1)
Apabila penggugat dan tergugat hadir maka
mula-mula majelis hakim memasuki ruang persidangan diikuti panitera sidang.
Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan dan ketua membuka
persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum (apabila
sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk umum
(apabila sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
2)
Hakim menanyakan identitas para pihak baik
pihak penggugat atau tergugat
3)
Hakim mengupayakan perdamaian pada para pihak
dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai dan menetapkan hari
sidang berikutnya tanpa dipanggil.
4)
Apabila kedua belah pihak berdamai, maka
dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya samutusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan esekusi.
5)
Apabila tidak tercapai perdamaian maka
dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan atau tidak, kalau ada maka
persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau perbaikan
gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir dalam sidang
berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
6)
Apabila tidak ada perubahan atau sudah ada
perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Setelah
pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan
pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada tergugat menyusun
jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk hadir
dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
7)
Dalam sidang selanjutnya jawaban dibacakan
dan penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan replik, kemudian sidang
ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat menyusun replik dengan
menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya
tanpa dipanggil.
8)
Sidang selanjutnya replik dibacakan dan
tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik, kemudian tergugat diberi
kesempatan untuk menyusun duplik dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan
memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
9)
Sidang selanjutnya duplik dibacakan kemudian
pihak penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat
dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk memberikan kesempatan
kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari sidang
berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya
tanpa dipanggil.
10)
Sidang selanjutnya setelah penggugat
mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti
untuk menguatkan dalil-dalail sanggahannya, kemudian sidang ditunda untuk
memebri kesempatan kepada tergugat untuk pembuktian.
11)
Sidang selanjutnya setelah pembuktian
tergugat selesai kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada
penggugat dan tergugat menyusun kesimpulan.
12)
Sidang selanjutnya penggugat dan tergugat
menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda untuk musyawarah hakim untuk
menjatuhkan putusan.
13)
Dalam sidang selanjutnya, putusan dibacakan
oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang tidak puas dapat mengajukan
upaya hukum sesuai dengan ketentuan.
B.
Pencabutan Dan Perubahan Gugatan
Sebagai manusia biasa tidak mustahil apabila
dalam menyusun gugatannya penggugat khilaf atau lupa mengemukakan sesuatu hal
yang penting dalam gugatannya sehingga agar gugatannya berhasil perlu mencabut
gugatannya atau mengadakan perubahan atas gugatan yang telah dimasukan ke
pengadilan.
Tentang pencabutan dan perubahan gugatan ini
tidak diatur baik dalam HIR maupun RBg akan tetapi diatur dalam Relegment op de
Rechtsvordering (Rv).
1.
Mencabut Gugatan
Pencabutan
gugatan sendiri dapat dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa di persidangan
atau sebelum tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh
tergugat. Kalau pencabutan dilakukan sebelum perkara diperiksa dipersidangan
atau sebelum tergugat memberikan jawabannya, maka tergugat secara resmi belum
tahu akan adanya gugatan itu, yang secara resmi belum terserang kepentingannya.
Dalam hal ini tidak perlu ada persetujuan dari pihak tergugat. (Rv pasal 271).
Sebaliknya jika pencabutan itu terjadi setelah tergugat memberikan jawaban atas
gugatan penggugat, maka gugatan tidak dapat dicabut atau ditarik kembali oleh
penggugat kecuali disetujui oleh tergugat. (Rv pasal 271 ayat 2).
Dari ketentuan
tersebut diatas akan menimbulkan konsekuensi hukum, yakni terjadinya kebolehan
penggugat mengajukan gugatannya kembali, apabila penggugat mencabut gugatannya
sebelum tergugat memberikan jawabannya. Sedangkan penggugat yang mencabut
gugatannya sesudah tergugat memberikan jawaban, tidak dapat mengajukan
gugatannya kembali, karena dengan pencabutan gugatan tersebut, penggugat
dianggap telah melepaskan haknya.
Berikut skema dan
tatacara pencabutan gugatan
PERADILAN
|
PROSES ADMINSITRASI
|
KETENTUAN
|
Tingkat
Pertama
|
1. Pencabutan
gugatan sebelum panggilan sidang Relaas) disampaikan kepada
tergugat atau para tergugat;
|
1. Pencabutan
bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan tergugat, dengan cara penggugat
membuat surat pencabutan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan
tersebut;
|
2. Pencabutan
gugatan sebelum tergugat mengajukan jawaban;
|
2. Pencabutan
bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan tergugat;
|
|
3. Pencabutan
gugatan sesudah tergugat mengajukan jawaban
|
3. Pencabutan
gugatan harus meminta persetujuan tergugat, apabila tergugat setuju, maka
perkara tersebut bisa dicabut, apabila tergugat tidak setuju, maka perkaranya
akan berjalan seperti biasa;
|
|
Tingkat
Banding
|
1. Berkas
perkara banding belum dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Akta Permohonan
Banding belum diberitahukan kepada pihak terbanding;
|
1. Pencabutan
bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan terbanding, dengan cara penggugat
membuat surat pencabutan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan
tingkat pertama yang memutus perkara tersebut;
|
2. Berkas
perkara banding tersebut sudah dikirim ke Pengadilan Tingkat Banding;
|
2. Pencabutan
bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan terbanding, dengan cara penggugat
membuat surat pencabutan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan
tingkat pertama yang memutus perkara tersebut;
|
|
Tingkat
Kasasi
|
Berkas perkara
Kasasi belum dikirim atau sudah di kirimkan ke Mahkamah Agung RI;
|
Pencabutan bisa
dilakukan dengan cara pemohon Kasasi membuat surat pencabutan permohonan
kasasi ditujukan kepada ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara
tersebut;
|
2.
Perubahan Gugatan
Perubahan gugatan adalah salah satu
hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari
surat gugatan yang dibuat olehnya. Perubahan gugatan tidak diatur dalam
HIR/Rbg, tetapi diatur dalam Rv (Rechtsvordering) yaitu pasal 127, yang
berbunyi :
Pasal 127 Rechtsvordering
“Penggugat berhak untuk mengubah atau
mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau
menambah pokok gugatannya.”
Selain itu, ada juga beberapa yurisprudensi
atau putusan Mahkamah Agung yang bisa dan sering dijadikan dasar hukum mengenai
praktik perubahan gugatan dalam persidangan, antara lain sebagai berikut :
a. Putusan MA-RI No.
434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 :
Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan
tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada
Hak Pembelaan para Tergugat;
b. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No. 823.K/Sip/1973, tanggal 29
Januari 1976 :
Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau
tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat
tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian;
c. Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 :
Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada
persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu
harus ditolak;
d. Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 :
Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan
dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak merubah atau menyimpang dari
kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair.
e. Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Karena perubahan tersebut tidaklah merugikan
kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau pembuktian, sehingga tidak
bertentangan dengan Hukum Acara dan demi Peradilan yang cepat dan murah
(tentang perubahan tanggal, bulan, tahun dalam gugatan)
f.
Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975,
tanggal 18 Nopember 1975 :
Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan
Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut
Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara); sehingga
terjadi perubahan subyek hukum gugatan (Vide = Putusan MA-RI No.
305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);
g. Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 :
Perubahan gugatan itu tidak diterima apabila
perubahan itu dilakukan pada taraf pemeriksaan perkara sudah hampir selesai,
pada saat dalil-dalil, tangkisan-tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis
dikemukakan dan kedua pihak sebelumnya telah mohon putusan;
h. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 4 Oktober 1972 :
Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan
(Posita) dari Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR;
Dari beberapa putusan Mahkamah Agung di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan gugatan dalam persidangan
diperbolehkan dengan ketentuan:
1. Tidak
bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata.
2. Tidak menimbulkan
kerugian terhadap Hak Pembelaan tergugat.
3. Tidak mengakibatkan
perubahan posita.
4. Tidak merubah
atau menyimpangi kejadian materiil dalam gugatan.
5. Tidak
mengakibatkan perubahan subyek hukum dalam gugatan.
Perubahan isi gugatan selama memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, dapat diajukan dalam jangka
waktu:
1.
Sebelum hakim membacakan surat
gugatan.
Jika perubahan diajukan sebelum hakim
membacakan gugatan, maka perubahan ini tidak memerlukan persetujuan dari
tergugat.
2.
Setelah hakim membacakan gugatan,
sebelum tergugat mengajukan jawaban (pasal 127 Rv).
Jika perubahan diajukan setelah hakim
membacakan gugatan, hal ini diperbolehkan selama tergugat belum memberikan
jawaban. Tetapi pengajuan ini memerlukan persetuuan dari tergugat.
Perubahan gugatan tidak dibenarkan pada
tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai pada saat mana
dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah
pihak sebelum itu sudah mohon putusan, hal tersebut berdasarkan pada Putusan MA-RI No. 1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991 tentang Perubahan surat/gugatan perdata
dapat diterima/dibenarkan bila perubahaan itu dilakukan sebelum Hakim
membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan kepada Tergugat masih diperintahkan
untuk menjawab surat gugatan tersebut.
Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan
gugatan tidak terdapat dalam Pasal 127 Rv. Namun, dalam buku pedoman yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung, terdapat syarat formil untuk mengajukan
perubahan gugatan, dimana hal tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik
peradilan. Dalam buku pedoman Mahkamah Agung, dijelaskan mengenai syarat formil
dalam mengajukan perubahan gugatan, yaitu:
a. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh Mahkamah Agung
dalam buku pedoman, yang menyatakan:
1.
Diajukan pada hari sidang.
2.
Dihadiri oleh para pihak.
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak
dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:
1.
Di luar hari sidang
2.
Pada sidang yang tidak dihadiri
tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah
untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan
dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap
sangat merugikan kepentingan tergugat.
b. Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh Mahkamah
Agung, yang menyatakan:
1.
Menanyakan kepada tergugat tentang
perubahan gugatan yang bersangkutan
2.
Memberi hak dan kesempatan kepada
tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.
c. Tidak menghambat acara pemeriksaan
Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak boleh
menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan. Apabila perubahan gugatan
tersebut menghambat jalannya pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi
di antara kedua belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu
proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses penyelesaian
perkaranya.
C.
Penggabungan Gugatan
Penggabungan
atau kumulasi ialah gabugan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihak
yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu proses perkara, ada beberapa
macam kumulasi:
1.
Kumulasi subjektif (penggabungan beberapa penggugat atau tergugat
dalam satu gugatan) yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg)
adalah penggugat atau beberapa penggugat melawan (menggugat) beberapa orang
tergugat, misalnya Kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang
debitur (B, C, D) yang berhuntang secara tanggung renteng (bersama). Atau
beberapa penggugat menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwa tuntutan
tersebut harus ada hubungan hukum yang erat satu sama lain (koneksitas) (Putusan
MA tanggal 20 juni 1979 Nomor 415 K/Sip/1975). Kalau tidak ada hubunganya harus
digugat secara tersendiri.
Dalam bentuk ini yang digabung adalah pihak
dalam gugatan, misalnya dalam surat gugatan terdapat penggugat atau beberapa penggugat
melawan seorang atau beberapa orang tergugat, sehingga dapat terjadi variable sebagai berikut:
a.
penggugat
terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal
ini, kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak penggugat;
b.
sebaliknya,
pengugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi
subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak tergugat;
c.
dapat
juga terjadi kumulasi subjektif yang meliputi pihak penggugat dan tergugat
.Pada kumulasi yang seperti itu, penggugat terdiri dari beberapa orang
berhadapan dengan beberapa orang tergugat. Sebagai syarat kumulasi gugatan ini harus
terdapat adanya hubungan hukum di antara para pihak;
2.
Kumulasi objektif (penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa
peristiwa hukum dalam gugatan) yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam satu
perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan), misalnya A menggugat B selain
minta dibayar hutang yang belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang
tadinya telah dipinjam. Diperbolehkan di dalam praktek proses perdata di
pengadilan Raad Justisi dahulu, meskipun tidak ada peraturan yang spesial
mengenai kumulasi tersebut. Hal ini dianggap tidak dilarang oleh undangundang berhubung
dengan misalnya pasal 103 Reglement op de Rechsvordering yang melarang kumulasi
gugat prossesore dengan gugat petitore dan pasal ini dipandang sebagai suatu
kekecualian.
3.
Intervensi ialah
ikut sertanya pihak ketiga kedalam suatu proses perkara. Ada 3 (tiga) macam
intervensi, yaitu :
a.
Voeging,
masuknya pihak ketiga atas kehendaknya sendiri untuk membantu salah satu pihak
menghadapi pihak lawan. Dalam hal ini pihak ketiga berkedudukan sebagai
penggugat atau tergugat.
b.
Vrijwaring
ialah pihak ketiga ditarik oleh tergugat dengan maksud agar ia menjadi
penanggung bagi tergugat.
c.
Tussencomst,
ialah pihak ketiga masuk kedalam satu proses perkara yang sedang berjalan untuk
membela kepentingannaya sendiri. Dengan demikian intervensi disini berhadapan
dengan penggugat dan tergugat asal sekaligus.
Dari bentuk penggabungan
tersebut, yang digabung adalah materi gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa
gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah
gugatan, yaitu beberapa gugatan digabung dalam satu gugatan. Namun agar
penggabungan gugatan tersebut sah dan memenuhi syarat, maka di antara gugatan
itu harus terdapat hubungan erat (Innerlijke
samenhangen). Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
1.
Hakim
tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan
secara bersamasama dalam gugatan.
2.
Satu
tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya
diperiksa menurut acara biasa.
3.
Tuntutan
tentang bezit (penguasaan suatu benda) tidak boleh diajukan bersama-sama dengan
tuntutan tentang eigendom (hak atas suatu benda) dalam satu gugatan.
Penggabungan
gugatan juga dapat menghindari terjadinya kemungkinan putusan-putusan yang
saling bertentangan, penggabungan yang seperti itu, dianggap bermanfaat
ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig).
Ada 2 (dua) syarat
pokok penggabungan gugatan, yaitu :
a.
Terdapat
hubungan erat Menurut Soepomo “antara gugatangugatan yang digabung itu harus
ada hubungan batin” (innerlijke samenhang). Dalam praktek, tidak mudah mengkonstruksi
hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lain;
b.
Terdapat
hubungan hukum Terdapat hubungan hukum antara para penggugat atau antara para tergugat.
Jika dalam komunikasi subyektif yang diajukan beberapa orang sedangkan diantara
mereka maupun terhadap obyek perkara sama sekali tidak ada hubungan hukum,
gugatan wajib diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun
tidak mudah menentukan apakah di antara para penggugat atau tergugat terdapat
hubungan hukum atau tidak.
Ada 2 (dua) manfaat dan Tujuan penggabungan gugatan, yaitu
:
a.
Menghindari
kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/bertentangan Manfaat yang
lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling
bertentangan dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat
koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk menghindari
terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai kasus yang memiliki
koneksitas, misalnya apabila pada pengadilan negeri tertentu terdapat dua atau beberapa
perkara yang saling berhubungan, serta para pihak yang terlibat sama, lebih
tepat perkara itu digabung menjadi satu, sehingga diperiksa oleh satu majelis
saja.
b.
Untuk
mewujudkan Peradilan Sederhana Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan
dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses
tunggal, dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebaliknya, jika
masingmasing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh
proses penyelesaian terhadap masing-masing perkara sehingga azas peradilan :
“sederhana, cepat, dan biaya ringan” tidak ditegakkan.
Penggabungan
beberapa tuntutan dalam satu gugatan diperkenankan apabila penggabungan itu
menguntungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang digabungkan itu ada
koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta akan dapat
mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling berbeda/bertentangan, beberapa
tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan apabila antara tuntutan-tuntutan
yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan
erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya Dalam hal suatu tuntutan
tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan
tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi
perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat dikumulasikan dalam satu
gugatan. Apabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak berwenang memeriksa sedangkan
tuntutan lainnya hakim berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan
bersama-sama dalam satu gugatan Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan
bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan (Pasal 103 Rv).
Jadi dapat
disimpulkan bahwa penggabungan atau kumulasi gugatan ialah gabugan beberapa
gugatan hak atau gabungan beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama
dalam satu proses perkara, ada beberapa macam kumulasi :
1.
Kumulasi subjektif (penggabungan beberapa penggugat atau tergugat
dalam satu gugatan),
2.
Kumulasi objektif (penggabungan beberapa tuntutan terhadap
beberapa peristiwa hukum dalam gugatan),
3.
Intervensi ialah
ikut sertanya pihak ketiga kedalam suatu proses perkara.
D.
Kewenangan Mengadili Atau Kompetensi
Kompetensi
pengadilan atau bisa juga disebut dengan yurisdiksi pengadilan di Indonesia secara
umum dibagi menjadi dua yakni, kompetensi absolute dan kompetensi relatif.
1.
Kompetensi
Absolut.
Kewenangan mutlak adalah
wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan
pengadilan yang sama (pengadilan negeri dengan pengadilan tinggi) maupun dalam
lingkungan peradilan yang lain (pengadilan negeri dengan pengadilan agama). Menurut Retnowulan, wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian
kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam-macam pengadilan
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda
disebut attributie van rechtsmacht. Selain itu, menurut Dr. Muhammad Nasir, SH, MS., kompetensi
absolut suatu badan peradilan adalah atribusi kekuasaan berbagai jenis badan
peradilan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya.Menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 14
Tahun 1970, ada 4 macam lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu:
a.
PeradilanUmum (PU)
b.
Peradilan Agama (PA)
c.
Peradilan Militer (PM), dan
d.
Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
2.
Kompetensi
relatif.
Kompetensi relatif yaitu kewenangan peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan perkara-perkara berdasarkan daerah Hukumnya dimana wilayah
tergugat bertempat tinggal. Dalam bukunya, M. Nur Rasaid, SH
mendefinisikan kewenangan relatif, yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan
mengadili antar-pengadilan yang serupa atau sejenis. Menurut Dr. Muhammad
Nasir, SH, MS., kompetensi relatif adalah distribusi kekuasaan badan peradilan
sejenis untuk memiliki kewenangan menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 118 HIR menetapkan bahwa
setiap perkara perdata dimulai dengan pengajuan surat gugatan dan menetapkan
pengadilan negeri yang berwenang adalah yang terletak dalam daerah hukum si
tergugat bertempat tinggal. Sedangkan menurut Retnowulan, wewenang relatif
mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan serupa, tergantung
dari tempat tinggal tergugat, pasal 118 HIR, menyangkut kekuasaan relatif yang
dalam bahasa Belanda disebut distributie
van rechtsmacht. Azasnya adalah
“yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat tinggal tergugat”. Azas ini
dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan “Actor
Sequitur Forum Rei”. Pasal 17 BW menyatakan bahwa tempat tinggal
seseorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya.
Ada beberapa poin yang menentukan Kompetensi
Relatif, namun sebelumnya coba perhatikan ketentuan hukum yang mendasarinya :
Pasal 118 HIR :
(1)
Tuntutan
(gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang
pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang
ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada
ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya
tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang
sebenamya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .)
(2)
Jika
yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum
pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan
negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang
digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa
mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) "Reglemen Susunnan Kehakiman dan
Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua
pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur
utama.
(3)
Jika
tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya,
atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua
pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat,
atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan
negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut.
(4)
Jika
ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau
mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam
daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 9511, 4', 5';
KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.)
Pasal 118
HIR ini hampir mirip dengan Pasal 142 RBG, hanya saja terdapat sedikit
perbedaan, misalnya Pasal 142 HIR terdiri dari 5 ayat dan pasal 118 HIR terdiri
dari 4 ayat, dan dalam HIR tidak disebutkan dengan jelas jika barang yang tidak
bergerak itu terdapat di beberapa tempat dengan yurisdiksi PN yang berbeda.
Dalam 142 RGB menyatakan dengan jelas dalam ayat 5 yang berbunyi:
“Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka
gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap
tersebut; jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa pengadilan negeri gugatan itu
diajukan kepada salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan
penggugat. (IR. 119.)”
Dari dua
pasal di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Gugatan
diajukan di alamat tergugat (asas Actor Squitur Forum Rei),
2.
Gugatan
diajukan di tempat tergugat tinggal sebenarnya secara fisik,
3.
Jika
tergugat lebih dari satu orang, tergugat dapat memilih salah di tempat salah
satu tergugat,
4.
Jika
yang digugat yakni debitur utama dan penanggungnya maka gugatan diajukan di
wilayah debitur utama atau salah seorang debitur utama,
5.
Jika
alamat tergugat dan tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka diajukan di
pengadilan tempat tinggal penggugat atau salah satu penggugat.
6.
Jika
tergugat tidak dikenal, maka dapat diajukan ke Pengadilan tempat tinggal
penggugat,
7.
Untuk
barang tidak bergerak, maka tuntutan diajukan di daerah pengadilan barang
tersebut.
8.
Jika
barang tidak tetap berada di lebih darisatu daerah hukum PN maka diajukan di
salah satu daerah hukum PN dari keberadaan benda tersebut,
9.
Jika
ditentukan dalam perjanjian antar kedua belah pihak terkait pemilihan PN yang
akan ditunjuk untuk memproses sengketa mereka, maka jika mau gugatan boleh
diajukan di PN yang dipilih tersebut.
Sekilas
hal-hal tersebut diatas terlihat muadah namun dalam praktik ini bisa menjadi sangat
rumit, hal yang tidak pernah dibayangkanpun dapat terjadi. Tentu masih ada
jenis gugatan lain yang perlu diketahui tempat untuk diajukan gugatan, dan
secara tegas tidak dinyatakan di dalam kedua pasal di atas, diataranya :
1.
Dalam
hal tergugat adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka pengadilan negeri
yang berwenang adalah pengadilan negeri dimana ia bekerja (Pasal 20 BW: “Mereka
yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum, dianggap bertempat tinggal di
tempat mereka melaksanakan dinas”);
2.
Dalam
hal tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajuka
kepada pengadilan negeri tempat tinggal orang tuanya, walinya atau pengampunya
(Pasal 21 BW: “Seorang perempuan yang telah kawin dan tidak pisah meja dan
ranjang, tidak mempunyai tempat tinggal lain daripada tempat tinggal suaminya;
anak-anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal salah satu dan kedua orang tua
mereka yang melakukan kekuasaan orang tua atas mereka, atau tempat tinggal wali
mereka; orang-orang dewasa yang berada di bawah pengampuan mengikuti tempat
tinggal pengampuan mereka”);
3.
Tentang
buruh yang menginap di tempat majikannya, maka pengadilan negeri yang berwenang
mengadilinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikannya (pasal 22 BW:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal yang lalu, buruh mempunyai
tempat tinggal di rumah majikan mereka bila mereka tinggal serumah dengannya”);
4.
Dalam
hal permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan negeri yang berwenang adalah
pengadilan negeri dalam daerah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan
atau ditempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri (Pasal 25 jo. Pasal
63 ayat (1(b)) Undang-Undang No.1 tahun 1974, pasal 38 ayat (1) dan (2)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975);
5.
Tentang
gugatan perceraian dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat kediaman
penggugat dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri dan ketua
pengadilan negeri tempat diajukannya gugatan menyampaikan permohonan tersebut
melalui perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut (Pasal 40 jo. Pasal 63
ayat (1(b)) UndangUndang No. 1 tahun 1974, pasal 20 ayat (2) dan ayat (3)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
Selain itu
di dalam Reglamen Acara Perdata (RV) yang dalam praktik masih sering sekali
dijadikan landasan penentuan yurisdiksi pengadilan dalam menggugat suatu perkara.
Terkait dengan yurisdiksi diatur di dalam Pasal 99 dan Pasal 100. Pasal 99 RV (Reglemen
Acara Perdata) berbunyi:
1)
Seorang
tergugat dalam perkara pribadi yang murni mengenai benda-benda bergerak
dituntut di hadapan hakim di tempat tinggalnya. (ISR. 136; KUHPerd. 1724; Rv.
100, 102, 133, 2442', 260, 926; IR. 118.)
2)
Jika
tempat tinggalnya di Indonesia tidak dikenal, di hadapan hakim di tempat tinggalnya
yang nyata. (KUHPerd. 17; Rv. 670.)
3)
Jika
ia tidak mempunyai tempat tinggal yang diakui, di hadapan hakim di tempat
tinggal penggugat. (Rv. 100.)
4)
Jika
mengenai pemegang-pemegang saham tidak atas nama dalam pinjaman-pinjaman uang
atau perserikatan-perserikatan yang tidak diketahui siapa pemiliknya, maka
mereka juga digugat di hadapan hakim di tempat tinggal penggugat. (KUHD 40
dst.; Rv. 670.)
5)
Jika
dalam hal-hal tersebut di atas ada
beberapa penggugat, gugatan dilakukan di hadapan hakim dari salah satu di
antara para penggugat atas pilihan mereka.
6)
(s. d. u. dg. S. 1912521.) Dalam hal ada beberapa tergugat, di hadapan
hakim di tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan penggugat. Dalam hal
para tergugat satu sama lain mempunyai hubungan sebagai tergugat pokok dan penjamin,
maka gugatan dilakukan di hadapan hakim di tempat tinggal orang yang menjadi
tergugat pokok atau salah satu dari mereka, kecuali dalam hal yang diatur dalam
alinea kedua pasal 6 RO.
7)
(s. d. t. dg. S. 1912521.) Jika gugatan mengenai tagihan pembayaran benda-benda
bergerak yang telah dijual dan diserahkan dapat dilakukan baik di hadapan hakim
di tempat tinggal tergugat maupun di hadapan hakim di tempat tinggal pembayar,
maka gugatan seharusnya dilakukan atas pilihan penggugat. (Rv. 9262.).
8)
Dalam
perkara mengenai hak atas benda tetap, di hadapan hakim yang di wilayah
hukumnya terletak benda tetap tersebut. (Rv. 102; KUHPerd. 506 dst.)
9)
Dalam
hal bendabenda tetap terletak di dalam wilayah hukum beberapa raad van justitie, gugatan dilakukan di
hadapan hakim di ibu kota di mana terletak benda tetap itu, dan jika tidak ada
ibu kota, di hadapan Majelis Hakim yang di dalam wilayah hukumnya terletak
salah satu benda tetap itu, atas pilihan penggugat. (Rv. 498.).
10) Dalam perkara-perkara campuran, kecuali dalam
perkara warisan yang diatur dalam pasal ini, di hadapan hakim yang di dalam
wilayah hukumnya terletak benda tetap itu atau di tempat tinggal tergugat, atas
pilihan penggugat. (Rv. 102.).
11) Dalam perkara persekutuan-persekutuan atau
perserikatan dagang, selama masih berdiri di tempat kedudukannya, dan sesudah
dibubarkan, baik di hadapan hakim yang sama itu maupun di tempat tinggal salah seorang
anggota panitia pembubarnya. (KUHPerd. 1618 dst., 1653 dst.; KUHD 15 dst., 32;
Rv. 650.)
12) Dalam perkara warisan: (KUHPerd. 830 dst., 874
dst.; Rv. 7.)
a.
karena
adanya saling menuntut di antara para waris, termasuk tentang pembagian harta
benda karena pembatalan pembagian harta benda (KUHPerd. 1066 dst., 1112, 1124;
Rv. 689.).
b.
karena
adanya tuntutan para penagih yang meninggal sebelum diadakan pembagian harta
benda (KUHPerd. 1100 dst., 1107; Rv. 7.).
c.
karena
adanya tuntutan yang berhubungan dengan pelaksanaan penetapan hakim tentang
kematian sampai putusan akhir (KUHPerd. 24, 957 dst., 1005 dst.; Rv. 106.) diajukan
di hadapan hakim yang di dalam wilayah hukumnya warisan jatuh terbuka.
(KUHPerd. 23.)
13) (s.d.u. dg. S. 1906348.) Dalam perkaraperkara tentang kepailitan atau keadaan
tidak mampu membayar di hadapan raad van
justitie yang telah menyatakan tergugat dalam keadaan pailit atau dalam
keadaan tidak mampu membayar dan yang putusannya mempunyai akibat-akibat hukum,
jika kepailitan dinyatakan oleh H.G.H., di hadapan raad van justitie yang salah satu anggotanya diangkat sebagai
komisaris. (F. I dst., 79 dst.; Rv. 661.)
14) Dalam perkara penanggungan, di hadapan hakim
yang memeriksa perkara yang asli yang masih berjalan. (Rv. 70 dst., 76.)
15) Dalam perkara pertanggungjawaban (rekening)
bagi orang-orang yang karena hukum diangkat sebagai penanggung jawab, di
hadapan hakim yang mengangkatnya dan bagi wali atau pengampu di hadapan raad van justitie yang menunjuknya
sebagai wali atau pengampu, atau dalam dua hal itu di hadapan raad van justitie di tempat tergugat,
atau tempat pilihan penggugat. (KUHPerd. 409 dst., 452, 463, 472, 983; Rv. 674
dst.)
16) Jika ada tempat tinggal pilihan, di hadapan
hakim di tempat tinggal pilihan itu atau di hadapan hakim di tempat tinggal
nyata tergugat, atas pilihan penggugat (KUHPerd. 24 dst.).
17) Dalam perkara mengenai biaya dan upah
pengacara atau juru sita, di hadapan pengadilan dimana biaya-biaya itu
dikeluarkan. (KUHPerd. 1970, 1974; Rv. 59, 607 dst., 610.)
18) (s.d.t. dg. S. 1908522.) Dalam hal Pemerintah Indonesia mewakili Negara
bertindak sebagai penggugat atau tergugat, maka Jakarta dianggap sebagai tempat
tinggalnya. XRv. 621.) Pasal 100 RV berbunyi: “(s.d.u. dg. S. 1915299, 642.)
Seorang asing bukan penduduk, bahkan
tidak berdiam di Indonesia, dapat digugat di hadapan hakim Indonesia untuk
Perikatan-perikatan yang dilakukan di Indonesia atau di mana saja dengan warga
negara Indonesia. (ISR. 136; AB. 3; Rv. 99, 761.)”.
Pasal 100 RV
ini jika kita lebih merincikan maka orang yang berada di luar negeri dapat digugat
di indonesia. Kemudian jika dikaitkan dengan Pasal 118 (3) HIR maka gugatan diajukan
di wilayah hukum pengadilan tempat tinggal penggugat, meskipun syarat yang dinyatakan
dalam Pasal 118 (3) HIR tersebut yakni jika tempat tinggalnya tidak diketahui, meskipun
alamatnya di luar negeri diketahui dengan pasti, namun yurisdiksi pengadilan, penerapan
hukum kita tidak menjangkau ke sana, maka dapat diinterpretasikan bahwa diluar wilayah
Republik Indonesia dapat dianggap sebagai tempat tinggal yang tidak diketahui.
Di dalam
penerapan ketentuan-ketentuan di atas untuk menerapkan kompetensi relatif,
kadang memerlukan analisa disamping hanya mengambil sebuah pasal lalu
menerapkannya dalam sebuah kasus hukum. Seperti misalnya, telah ditegaskan di
dalam Pasal 118 (1) bahwa gugatan diajukan di tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei), dan di dalam pasal 118 (3) dikatakan
terhadap benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di tempat benda itu berada
(forum rei sitae), namun jika gugatan yang diajukan merupakan
tuntutan ganti rugi yang timbul dari Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai
dengan Pasal 1365 KUHPerdata, maka gugatan diajukan di tempat tinggal tergugat,
meskipun dasar dari tuntutan atau PMH tersebut timbul dari objek benda tidak
bergerak. Seperti, jika ada seseorang yang merobohkan, membakar, mengebom atau
merusak vila anda atau salah satu rumah milik anda yang berada di kota lain
yang secara administratif dan nyata anda tidak bertempat tinggal di sana, maka
jika anda akan menggugat pelakunya untuk meminta ganti kerugian, anda harus menggugatnya
di tempat tinggal tergugat (actor squitur forum rei) buka di tempat vila atau rumah anda yang
menjadi penyebab gugatan itu berada (forum rei sitae).
Yang menjadi perbedaan mendasarnya yakni, jika yang dituntut merupakan objek
benda tidak bergerak maka diterapkan asas forum rei sitae, namun jika yang dituntut merupakan ganti
kerugian, atau yang lainnya yang bukan terkait dengan sengkta objek benda tidak
bergerak tersebut maka gugatannya menggunakan asas actor squitur forum rei.
Jika gugatan
diajukan kepada pengadilan yang salah, apakah itu keselahan dalam penentuan kompetensi
absolut atau kompetensi relatif, maka akan mengakibatnya gugatan mengandung cacat
formil, dan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard) atau biasa juga
disebut “NO” atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
Terima kasih, sangat membantu
BalasHapusBagus, namun belum menjawab pertanyaan inti saya.mengenai dapatkah pencabutan keterangan saksi, yg sebelumnya tidak diketahui.
BalasHapus