Rabu, 23 Maret 2016

Materi Kuliah Hukum Acara Perdata : Penyitaan

A.     Pengertian Penyitaan
Sita atau beslaag ialah suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dibebani, seseuatu sebagai jaminan,dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur (penggugat) dibekukan ini berarti bahwa barang-barang itu disimpan (diconserveer) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (ps. 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg).  Oleh karena itu, penyitaan ini disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan.
Dengan adanya penyitaan itu maka debitur atau tergugat kehilangan wewenangnya untuk menguasai barngnya, sehingga dengan demikian tindakan-tindakan debitur atau tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang-barang yang disita adalah tidak sah dan merupakan perbuatan pidana (ps. 231, 232 KUHP).
Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri yang wajib membuat berita acra tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau ia hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara (ps. 197 ayat 2, 5 dan 6 HIR, 209 ayat 1 dan 4, 210 Rbg).
Kalau permohonan sita jaminan itu dikabulkan, maka lalu dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaard) dalam putusan, sesudah mana penyitaan itu mempunyai titel eksekutorial, sehingga berubah menjadi sita eksekutorial yang berarti bahwa tuntutan penggugat dapat dilaksanakan.
Sita jaminan ini meliputi seluruh harta kekayaan daripada debitur atau tergugat, tetapi hanya beberapa barang tertentu saja yang dilakukan oleh seorang kreditur.

1.      Tujuan Penyitaan
Sita jaminan bertujuan untuk menjamin hak pemohon sita karena itu juga sita tersebut dinamakan sita jaminan. Dengan kata lain, sita jaminan itu berfungsi untuk menjamin hak-hak penggugat, sehingga dapat dicegah perbuatan yang dapat merugikan penggugat. Dengan denikian, permohonan sita jaminan tidaklah berdiri sendiri. Dengan sita jaminan ini terjadilah pembekuan terhadap harta agar tergugat tidak dapat mengalihkan, yaitu diperjualbelikan, ditukar dengan benda lain, diwariskan maupun dihibahkan.

2.      Syarat-syarat dan Alasan Penyitaan
a.      Syarat Pengajuan Penyitaan.
Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita.  Sita Berdasarkan Permohonan terdiri dari :
(1)   Permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama didalam surat gugatan. Bentuk dan tatacara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk suratgugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini  tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita di dalam surat gugatan biasanya mengikuti pedomanyang secara sistematis, sebagai berikut :
Ø  Gugatan sita dirumuskan setelah uraian posita atau dalil gugat. Menurut penulis cara yang seperti ini adalah cara yang tepat, perumusan dalil gugat itulahlayak dan tidak layak diajukan permohonan sita, karena dari perumusan dalilgugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan peristiwa yang mendukungdalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita sertaalasan kepentingan penyitaan.
Ø  Permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada petitum kedua. Biasanya setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir posita gugat, permohonan sita itu dipertegas lagi dalam petitum gugat, yang berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa atau hartakekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga.
(2)   Permohonan terpisah dari pokok perkara. Ada kalanya permohonan sita diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari gugatan pokok perkara. Disamping gugatan perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan. Namun didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak  penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan. 

b.      Memenuhi tenggang waktu pengajuan sita.
Tenggang waktu pengajuan sita adalah sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum.
Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Memperhatikan kekuatan tersebut selain menentukan tenggang waktu pengajuan sita, namun sekaligus juga mengandung permasalahan tentang instansi tempat pengajuan sita. Menurut ketentuan undang-undang, pengajuan permohonan sita dapat dilakukan :
(1)   Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan hukum tetap.Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
(2)   Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi selama putusan belum dijatuhkan´. Makna dan penafsiran kalimat tersebut menurut penulis terbatas pada ruang lingkup proses pemeriksaan sidang pengadilan negeri.Sehingga jika proses pemeriksaan diinstansi pengadilan negeri masih berlangsung, maka dapat diajukan permohonan sita.
(3)   Atau selama putusan belum dapat dieksekusi.Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi selama putusan belum dapat dieksekusi (dilaksanakan)´. Selama putusan belum dapatdilaksanakan mengandung arti yuridis selama putusan yang bersangkutan belummemperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Jadi permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap yang dapat dibanding maupun dikasasi.

c.       Permohonan sita harus berdasarkan alasan. Permohonan sita yang telah dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sitaapabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan tersebut dengan alasanyang dibenarkan oleh hukum. Memang secara tegas undang-undang memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita harta kekayaan atau harta terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, namun hakim harus teliti dan cermat di dalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya.

3.      Prinsip-prinsip Penyitaan
a.      Merupakan tindakan hukum, artinya tindakan berdasarkan hukum acara perdata sebagai tindakan persiapan, karena belum ada tindakan riil.
b.      Merupakan tindakan hakim, artinya sita jaminan hanya dapat dilakukan karena perintah hakim atas permohonan dari salah satu pihak (penggugat). Yang berhak mengajukan sita jaminan hanya pihak yang bersengketa dan hanya dapat dilakukan jika ada permohonan.
c.       Sita jaminan bersifat eksepsional, artinya sita jaminan di luar pokok perkara, yaitu suatu tindakan yang disertakan dan hanya berkaitan langsung dengan pokok perkara oleh karena itu, sita jaminan sangat tergantung dari putusan mengenai pokok perkara.
d.      Sita jaminan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dilaksanakannya putusan hakim, artinya putusan hakim secara nyata dapat diwujudkan dan tidak menjadi hampa karena barang sengketa rusak, musnah, dipindahtangankan, dan sebagainya.
e.      Sita jaminan bertujuan untuk mengamankan barang-barang sengketa dari kemungkinan dipindahtangankan.dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan, dan untuk menjamin pelaksanaan putusan hakim sebagaimana mestinya, sekiranya tuntutan dalam pokok perkara dikabulkan oleh hakim.

4.      Macam-macam Penyitaan
Dari segi bentuk, dikenal sita revindikatoir (revindicatoir beslaag), sita konservatoir (conservatoir beslaag)dan sita eksekutorial (executorial beslaag). Dilihat dari segi bentuk atau objek, sita konservatoir pada garis besarnya dibedakan atas sita barang bergerak, sita barang tidak bergerak, sita atas kapal laut, dan sita atas kapal terbang. Selain itu, sita jaminan ini dapat juga dikelompokkan sebagai sita jaminan yang tidak hanya diletakkan terhadap barang milik tergugat (sita conservatoir) tetapi juga barang-barang milik penggugat yang ada pada penguasaan tergugat sendiri (sita revindicatoir). Di dalam praktik peradilan dikenal beberapa macam sita, yaitu :
a.      Sita revindicatoir
b.      Sita conservatoir
c.       Sita marital, dan
d.      Sita eksekutorial

Pada prinsipnya semua barang milik debitur, baik bergerak dan tidak bergerak, dapat diletakkan sita jaminan. Pasal 1311 KUHPerdata mengatakan, pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggungan untuk suatu perikatan yang bersifat perorangan. Pengecualiannya terutama adalah hak-hak perorangan (pasal 823 dan pasal 827 KUHPdt). Selain itu juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian dalam hubungan perburuhan tidak boleh dilakukan sita untuk menjalankan putusan hakim (pasal 34 UU No. 2 Tahun 1952 Jo. UU 33 Tahun 1947). Dalam pembahasan ini sita jaminan dilihat dari bentuk atau objeknya. Pembagian ini sesuai dengan yang dikemukakan Sudikno Mertokusumo bahwa sita jaminan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri (pemohon = penggugat) dan sita jaminan terhadap barang milik debitur. Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri (pemohon/penggugat) meliputi:
a.      Sita revindicatoir (ps. 226 HIR/ ps 260 RBg)
b.      Sita Marital (ps. 823-823j Rv)

Adapun sita jaminan terhadap barang milik debitur, yang lazim disebut sita conservatoir, barang yang dapat disita secara conservatoir meliputi :
a.      Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur/tergugat (Pasal 227 jo. Pasal 261 jo. 208 Rv);
b.      Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur/tergugat (pasal 227, pasal 197,pasal 198, pasal 199 HIR/pasal 208, pasal 214 RBg);
c.       Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur/ berada di tangan pihak ketiga (pasal 728 Rv, Pasal 197 ayat 8 HIR/ pasal 211 RBg);
d.      Sita conservatoir terhadap kreditur/penggugat sendiri (pasal 750 a Rv);
e.      Sita conservatoir atau Pandbeslag (pasal 751-756 Rv);
f.        Sita conservatoir barang debitur orang asing (pasal 757 Rv);
g.      Sita conservatoir atas pesawat terbang (pasal 763-h-763k Rv).

Pembagian ini telah banyak dipakai oleh pakar hukum dan juga oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan pembagian tersebut, yang akan dibahas adalah meliputi jaminan yang dapat diletakkan terhadap barang milik penggugat, barang tetap milik debitur, barang bergerak milik debitur, barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga, sita gadai, sita atas barang debitur yang tidak mempunyai tempat yang dikenal di indonesia atau orang asung yang bukan penduduk indonesia, barang kreditur, sita atas pesawat terbang dan sita atas milik negara.

B.      Sita Revindicatoir
Pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat minta, baik secara lisan maupun tertulis kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita. Penyitaan ini disebut sita revindicatior.
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps.1977 ayat 2, 1751 BW). Tujuan penyitaan ini agar setiap pemilik barang yang barangnya berada di tangan orang lain dapat mencegah barang miliknya tersebut dialihkan atau diasingkan oleh pihak yang menguasainya. Jika mobil milik A dikuasai oleh B, maka dalam persidangan gugatan perdata, A dapat mengajukan sita revindicatoir atas mobil miliknya tersebut dengan tujuan agar B tidak mengalihkannya. Barang yang dapat disita secara revindicatoir hanyalah berang bergerak, karena barang tidak bergerak seperti misalnya tanah sulit atau jarang sekali untuk dialihkan atau diasingkan.
Selain pemilik barang, orang yang mempunyai hak reklame juga dapat mengajukan sitarevindicatoir. Hak reklame merupakan hak tagih yang dimiliki oleh penjual barang bergerak. Sitarevindicatoir pemilik hak reklame bertujuan agar barangnya yang telah diserahkan tapi belum dibayar dalam suatu transaksi jual-beli dapat diamankan terlebih dahulu agar tidak dialihkan atau diasingkan oleh pembeli.
Untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan (ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Oleh karena tidak perlu ada dugaan akan digelapkannya barang bergerak tersebut, maka sudah wajarlah kiranya kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada pihak tersita untuk disimpannya atau dapat juga barang tersebut disimpan di tempat lain yang patut. Akibat hukum daripada sita revindicatior ini ialah bahwa pemohon atau penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk mengasingkannya. Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dalam dictum putusan, sita revindicatior itu dinyatakan sah dan berharga dan diperintahkan agar barang itu bersangkutan diserahkan kepada penggugat, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita revindicatoir yang telah dijalankan itu dinyatakan dicabut.

C.      Sita Conservatoir
Sita conservatoir merupakan sita jaminan tehadap barang milik debitur atau tergugat. Sitaconservatoir merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada pengadilan, yaitu berupa penjaminan agar dilaksanakannya putusan perdata dengan cara membekukan barang milik tergugat. Barang yang dibekukan tersebut nantinya dapat digunakan untuk melaksanakan putusan pengadilan, misalnya dengan menjual barang yang disita dan uangnya digunakan untuk membayar kewajiban tergugat kepada penggugat sesuai putusan hakim. Terhadap sita conservatoir, tergugat juga dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar sita atas barangnya tersebut dicabut. Permohonan pencabutan itu dapat dikabulkan oleh hakim asalkan tergugat dapat menyediakan tanggungan yang mencukupi.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap berada di tangan tergugat untuk disimpannya dan dijaganya, atau dapat juga disimpan di tempat lain, dan tergugat dilarang mengalihkan barang tersebut. Dengan adanya sita conservatoir, tergugat sebagai “pemilik barang” kehilangan kewenangannya atas barang miliknya itu. Selain terhadap barang bergerak, sitaconservatoir juga dapat diajukan atas barang tidak bergerak milik tergugat. Penyitaan atas barang tidak bergerak milik tergugat dilakukan dengan mengumumkan penyitaan barang tidak bergerak tersebut oleh kepala desa setempat di tempat barang itu disita.
Sita conservatoir, juga dapat dilakukan terhadap barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga. Hal ini misalnya terjadi karena tergugat memiliki piutang terhadap seorang pihak ketiga. Untuk menjamin haknya atas pelaksanaan putusan, penggugat dapat melakukan sitaconservatoir atas barang bergerak milik debitur yang di tangan pihak ketiga itu. Sita conservatoir atas barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga disebut juga derdenbeslag yaitu apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, kreditur yang menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang yang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga tersebut. Kreditur dapat menyita atas dasar akta autentik atau akta di bawah tangan, yakni uang dan barang yang menjadi piutang debitur yang ada pada pihak ketiga. Sita dalam bentuk demikian, dibolehkan dengan sita rangkap (ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdenbeslag sebagai sita conservatoir tapi sebagai sita eksekutorial.

D.     Sita Marital
Menurut Ny. Retno Wulan Sutantio Sita Marital adalah : Sita yang dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang-barang suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan dihilangkan oleh suami.
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.
Tujuan Sita Marital sudah jelas yaitu untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.Apalagi,jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, maka semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan atas harta perkawinan. Misalnya, atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung dan harta perkawinan semuanya di kuasai suami. Hal ini seolah-olah memberi kesempatan kepada suami untuk menjual atau mengelapkan sebagian harta perkawinan. Sebagai upaya menjamin untuk keselamatan, keutuhan harta perkawinan (harta bersama) undang-undang memberi hak kepada isrti untuk mengajukan permohonan sita marital. Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pasal 215 KUHPerdata undang-undang no.1/1974 jo.PPNo.9/1975 pasal 24(2) huruf c. Yang disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekayaan atau milik istri meupun barang tetap dari kesatuan harta kekayaan.(ps. 823 Rv).

HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti yang dapat kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam praktek peradilan sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan. Sita Marital bertujuan bukan untuk menjamin dilaksanakannya penyerahan barang, melainkan agar barang yang disita tidak dialihkan. Fungsinya untuk melindungi hak pemohon atau penggugat selama pemeriksaan sengketa perceraian berlangsung, yaitu agar harta perkawinan dibekukan terlebih dahulu sampai sengketa percerainnya diputuskan, agar jangan sampai harta perkawian tersebut dialihkan oleh pihak (suami atau istri) yang menguasainya.

B.      Sita Eksekutorial
Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan pengadilan agama karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun pihak pengadilan agama telah memperingatkan pihak tergugat agar putusan pebgadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap itu supaya dilaksanakan oleh tergugat secara sukarela sebagaimana mestinya.sita eksekusi ini biasa dilaksanakan terhadap suatu putusan yang mengharuskan tergugat membayar sejumlah uang.
Berdasarkan pengertian sita eksekusi sebagaimana tersebut di atas, maka sita eksekusi mempunyai ciri-ciri yang berlainan dengan sita jaminan dan sita revindikasi.adapun ciri-cirinya ialah:
1.      Sita eksekusi dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan sebelumnya tidak dilaksanakan sita terhadap barang-barang yang disengketakan.
2.      Tujuan sita eksekusi adalah untukmemenuhi pelaksanaan putusan pengadilan agama dan berakhir dengan tindakan pelelangan.
3.      Hanya terjadi dalamhal-hal yang berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang dan ganti rugi.
4.      Kewenangan pemerintah sita eksekusi sepenuhnya berada di tangan ketua pengadilan agama bukan atas perintah ketua majelis hakim.
5.      Dapat dilaksanakan secara berulang-ulang sampai pembayaran atau pelunasan sejumlah uang dan ganti rugi terpenuhi.



Sita eksekusi bertujuan untuk merampas langsung harta kekayaan tergugat untuk segera dijuallelang guna memenuhi pelaksanaan putusan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam amar putusan, saat berfungsinya sita eksekusi terhitung mulai putusan pengadilan agama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jadi tidak dipergunakan selam proses pemeriksaan dalampersidangan berlangsung efektifitas fungsi sita eksekusi sebagai upaya paksa pelaksanaan putusan pengadilan agama, terjadi jika pihak tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan agamasecara sukarela meskipun telah diberikan teguran sebagaimana mestinya. Efektivitas pelaksanaan sita eksekusi dengan sendirinya lumpuh jika pihak tergugat bersedia memenuhi semua isi putusan pengadilan agamaitu secara sukarela(vrijwilig).

Senin, 21 Maret 2016

Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan alternatif penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran  Utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 222 ayat (2) dikatakan : “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.
Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor maupun debitor kepada Pengadilan Niaga. Permohonan PKPU dapat diajukan sebelum ada permohonan pailit yang diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat juga diajukan setelah adanya permohonan pailit asal diajukan paling lambat pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Namun jika permohonan pailit dan PKPU diajukan pada saat yang bersamaan maka permohonan PKPU yang akan diperiksa terlebih dahulu.
Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitor, dimana si debitor sebagai orang yang paling mengetahui keberadaan perusahaan, bagaimana keberadaan perusahaannya ke depan baik petensi maupun kesulitan membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungkinan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian kreditornya.
Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini adalah untuk menyusun suatu strategi baru bagi si debitor menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh tempo yang mana sementara belum dapat diselesaikan membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian si debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian ini disetujui oleh para kreditor untuk meneruskan berjalannya perusahaan si debitor tersebut. Dengan kata lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya perdamaian antara debitor dan seluruh kreditor dari rencarta perdamaian yang diajukan/ditawarkan si debitor tersebut.
Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka Pengadilan wajib menyatakan Debitor dalam Keadaan Pailit. Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian karena:
  1. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
  2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
  3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini
  4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.

PKPU pada dasarnya, hanya berlaku/ditujukan pada para kreditor konkuren saja. Walaupun pada Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2) tidak disebut lagi perihal kreditor konkuren sebagaimana halnya Undang-undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 212 jelas menyebutkan bahwa debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun pada Pasal 244 Undang-undang No. 37 tahun 2004 disebutkan:
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap :
  1. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.
  2. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.
  3. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada point b.”

Materi Kuliah Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Menurut Prof. Moeljatno, S.H., Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
  1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
  2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
  3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
  1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
  2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
  3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme, dll.
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
2. Jenis-jenis hukum pidana
Jenis-jenis hukum pidana dapat dilahat dari beberpa segi di antaranya :
  1. Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan keharusan, yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
  1. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
  2. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta
  3. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
Jadi dari segi subjektif, negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental yakni :
  1. Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
  2. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
  3. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya.
Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan di atas namun tetap dibatasi, jika tidak maka negara akan melakukan kesewenang-wenangan sehingga menimbulkan ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga di antara negara. Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetapkan dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum, pada saat, dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidana formil.
  1. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat ahli di bawah ini :
  1. Van Hamel memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil. Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
  2. Van Hattum, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum pidana materil kadang disebut juga hukum pidana abstrak). Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.
  3. Simons, hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan.

  1. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membedabedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi warga negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subjek hukum anggota TNI saja.
Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam PERDA, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun pemerintahan kota. Menurut Paf. Lamintang, penjatuhan-penjatuhan hukum seperti tlah diancamkan terhadap setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan.
Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memutuskannya. Dan juga mengenai hukuman yang bagaimana yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti dirampasnya barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang bukti kepada terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk memutuskannya. Tidak seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan alat-alat kekuasaannya boleh menahan, memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa mengajukan mereka ke pengadilan untuk diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan-penyitaan, pemerintah-pemerintah daerah berikut alat kekuasaannya, terikat pada ketentuan-ketentuan seperti yang telah diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Setiap tindakan yang diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap ketentuan-ketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Hazewinkel Suringa: “di dalam hukum pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainya, tidak berwenang main hakim sendiri”. Maka dapat dikatakan telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan jika dilakukan oleh penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa).
  1. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang di luar kodifikasi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis adalah sebagai wujud dari keanekaragaman Hukum Adat di Indonesia, yang masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat hukum pidana pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat  memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951. Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.
  1. Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, Belanda) adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
3. Kaitan hukum pidana dengan bidang hukum lain
Hukum pidana adalah bagian dari system hukum atau system norma-norma. Sebagai suatu system, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu system, yaitu menyeluruh, memiliki beberapa elemen, semua elemen saling terkait dan kemudian membentuk struktur.
Ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dan keterangan-keterangan dari ilmu pengetahuan lain, demikian pula hukum pidana yang mempunyai ilmu-ilmu lain untuk melengkapi dan memiliki hubungan yang sangat erat yang saling mendukung satu sama lain. Dalam hal ini kami membahas hubungan hukum pidana dengan ilmu lain yang di antaranya: sosiologi, kriminologi, filsafat, dan politik, yang kesemua itu memiliki hubungan satu sama lain. Namun dengan demikian ada beberapa yang terdapat titik perbedaanya, seperti dalam hal kriminologi selain ada hubungan dengan hukum pidana, namun terdapat pula perbedaannya. Salah satu titik perbedaannya ialah objeknya. Objek hukum pidana menunjukkan pada apa yang dapat dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku, sedangkan pada kriminologi tertuju pada orang yang melakukan kejahatan, atau yang melanggar hukum.
  1. Filsafat
Filsafat berasal dari kata “philo” dan “Sophia” yang berarti mencinta (pecinta) kebijaksanaan. Filsafat adalah induk dari semua ilmu, karena filsafat hukum membahas masalah yang paling fundalmental yang timbul dalam hukum. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Filsafat hukum berusaha mencari sesuatu “rechts ideal” yang dapat menjadi “ dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system hukum positif sesuatu masyarakat. Pada hakekatnya filsafat merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan. Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematis kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan  penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
  1. Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kemasyarakatan. Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari timbale balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum, dan juga senantiasa menguji keabsahan empiris, dengan usaha mengetahui antara isi kaidah dan didalam kenyataannya. Hubungan dengan hukum pidana, sosiologi memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, dan mencari cara cara untuk memberantasnya. Penyelidikan tentang sebab dari kejahatan ini dapat di cari pada diri orang ( keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakat serta efektifitasnya di dalam masyarakat.
Ruang lingkup sosiologi hukum pidana adalah sebagai berikut:
  1. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan wargamasyarakat;
  2. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;
  3. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;
  4. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;
  5. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama polaprilakunya.
Dalam masalah pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio- cultural. pembaharuan hukum pidana juga di perlukan kebijakan sosial, upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.
  1. Kriminologi
Secara etimologis kriminologi terdiri dari dua kata yaitu “krimino”(kejahatan), dan “logos”(ilmu pengetahuan), jadi kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan, yang lazimnya mencari sebab-sebabnya sampai timbul kejahatan dan cara menghadapi kejahatan dan tindakan / reaksi yang diperlukan.
Kriminologi sebagai ilmu yang membantu hukum pidana positif dan peradilan pidana. Hasil-hasil penyelidikan dan pembahasan kriminologi sangat penting bagi menjalankan hukum pidana positif, pentingnya kriminologi itu bagi hukum pidana positif dalam usaha menciptakan Ius Countituendum pidana.
Didalam kriminologi hakikatnya terkandung sejumlah ilmu pengetahuan, antara lain:
  • Antropologi criminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari pribadi penjahat. Kajian utamanya lebih kepada cirri-ciri jasmaniah penjahat.
  • Sosiologi criminal, yaitu pengetahuan yang mempelajari kriminalitas sebagai gejala kemasyarakatan, disini dilihat lebih kepada kondisi sosial yang menyebabkan terjadinya kejahatan.
  • Psikologi criminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan seseorang di dalam terjadinya suatu kejahatan.
  • Psiko dan neuropatologi criminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari penjahat yang menderita penyakit jiwa.
  • Penology, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari timbul berkembang nya sanksi pidana serta arti dan mamfaat sanksi pidana itu.
  • Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan terapan yang mempelajari tehnik-tehnik kejahatan dan tehnik-tehnik penyelidikan.
Objek kriminologi tertuju pada orang yang melakukan kejahatan, tujuannya agar mengerti sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Kriminologi maupun hukum pidana memiliki kedudukan yang sejajar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana tidak semata-mata mengandalakan doktrin  atau teori dalam hukum pidana sendri,tetapi juga memperhatikan kajian dalam kriminologi khusunya mengenai kejahatan. Sebab kriminologi di gunakan untuk member petunjuk bagaimana masyarakat dapat menanggulangi dan menghindari kejahatan dengan hasil baik. Maka dengan demikian dapat ditentukan secara tepat pula kapan hukum pidana harus di gunakanuntuk menanggulangi kejahatan tersebut, dengan kata lain krimonologi membrikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat di hukum. Dalam pembaharuan hukum pidana juga membutuhkan pendekatan dari kebijakan criminal, upaya perlindungan masyarakat, (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
  1. Politik
Menurut Sudarto makna dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy.  Pada dasarnya hukum merupakan produk politik. hubungan  hukum pidana, dalam hal politik bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislative), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).
Politik juga merupakan Cabang ilmu pengetahuan yang berusaha membuat kaedah-kaedah yang akan menentukan bagaimana seharusnya prilakuan manusia, politik hukum meneliti perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum positif, supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum dapat dikatakan meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan ketegangan antara “hukum positif” dengan “sosial reality”. Politik hukum membuat suatu “ius constituendum” dan berusaha agar “ius constituendum” tersebut kemudian menjadi “ius constitutum” baru.
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan beberapa poin yang penting mengenai hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain:
  1. Sosiologi
Hubungan dengan hukum pidana, memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu dan mencari cara cara untuk memberantasnya.
  1. Kriminologi
Hubungan dengan hukum pidana, Kriminologi maupun hukum pidana memiliki kedudukan yang sejajar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana tidak semata-mata mengandalakan doktrin  atau teori dalam hukum pidana sendri,tetapi juga memperhatikan kajian dalam kriminologi khusunya mengenai kejahatan. Sebab kriminologi di gunakan untuk memberi petunjuk bagaimana masyarakat dapat menanggulangi dan menghindari kejahatan dengan hasil baik. Maka dengan demikian dapat ditentukan secara tepat pula kapan hukum pidana harus di gunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut, kriminologi juga membrikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat di hukum.
  1. Filsafat
Hubungan dengan hukum pidana, filsafaf lebih kepada mengadakan analisis dan sistematis kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan  penerapan yang benar. Ilmu filsafat juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
  1. Politik
Hubungan dengan hukum pidana, hukum pada dasarnya produk dari politik, politik juga meneliti perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum positif, supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Dan meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan ketegangan antara “hukum positif” dengan “sosial reality”. Politik hukum membuat suatu “ius constituendum” dan berusaha agar “ius constituendum” tersebut kemudian menjadi “ius constitutum” baru. Selain itu pula politik juga membuat bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislative), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).
  1. Masalah pembaharuan hukum pidana
Sosiologi, kriminologi, filsafat. Dan politik, juga berhubungan dengan pembaharuan hukum pidana itu sendiri, selain itu pembahuruan hukum pidana harus juga melalui pendekatan nilai-nilai. Dalam pendekatan nilai ini pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali, nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan.
4. Sejarah Kitab Undang-undang Hukum Pindana
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial dan pada masa kemerdekaan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-Undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU Nomor 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan untuk daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah Jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang  Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP tersebut sudah berlaku selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali ada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Rancangan tersebut antara lain:
  1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.
  2. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
  3. Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
  4. Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof. Soedarto.
  5. Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
  6. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
  7. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
  8. Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.
Adapun isi dari KUHP disusun dalam 3 (tiga) buku, antara lain:
  1. Buku I Aturan Umum(Pasal 1 sampai dengan Pasal 103)
  1. Bab I - Aturan Umum
  2. Bab II – Pidana
  3. Bab III - Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
  4. Bab IV – Percobaan
  5. Bab V - Penyertaan dalam Tindak Pidana
  6. Bab VI - Gabungan Tindak Pidana
  7. Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
  8. Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
  9. Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang- Undang
  10. Aturan Penutup
  1. Buku II Kejahatan(Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
    1. Bab I - Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
    2. Bab II - Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden
    3. Bab III - Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
    4. Bab IV - Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan Hak Kenegaraan
    5. Bab V - Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
    6. Bab VI - Perkelahian Tanding
    7. Bab VII - Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang
    8. Bab VIII - Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
    9. Bab IX - Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
    10. Bab X - Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
    11. Bab XI - Pemalsuan Meterai Dan Merek
    12. Bab XII - Pemalsuan Surat
    13. Bab XIII - Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan
    14. Bab XIV - Kejahatan Terhadap Kesusilaan
    15. Bab XV - Meninggalkan Orang Yang Perlu Ditolong
    16. Bab XVI – Penghinaan
    17. Bab XVII - Membuka Rahasia
    18. Bab XVIII - Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
    19. Bab XIX - Kejahatan Terhadap Nyawa
    20. Bab XX – Penganiayaan
    21. Bab XXI - Menadnyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan
    22. Bab XXII – Pencurian
    23. Bab XXIII - Pemerasan Dan Pengancaman
    24. Bab XXIV – Penggelapan
    25. Bab XXV - Perbuatan Curang
    26. Bab XXVI - Perbuatan Merugikan Pemiutang Atau Orang Yang Mempunyai Hak
    27. Bab XXVII - Menghancurkan Atau Merusakkan Barang
    28. Bab XXVIII - Kejahatan Jabatan
    29. Bab XXIX - Kejahatan Pelayaran
    30. Bab XXIX A - Kejahatan Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (UU No. 4 Tahun 1976)
    31. Bab XXX - Peahan Penerbitan Dan Percetakan
    32. Bab XXXI - Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai-Bagai Bab
  2. Buku III Pelanggaran(Pasal 489 sampai dengan Pasal 569)
    1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang Dan Kesehatan
    2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
    3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
    4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Perkawinan
    5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan Pertolongan
    6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
    7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, Dan Pekarangan
    8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
    9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran
5. Hubungan KUHP dengan ketentuan Hukum Pidana di luar KUHP
Hubungan antara hukum pidana dalam KUHP dan ketentuan hukum pidana di luar KUHP yaitu KUHP pada intinya terdiri dua bagian: (1) Bagian Umum terdapat dalam ketentuan buku kesatu sebagai asas/prinsip dasar “bangunan” hukum pidana Indonesia, (2) Bagian Khusus terdapat dalam ketentuan buku kedua dan ketiga yang memuat aturan khusus mengenai tindak pidana yang berupa kejahatan dan pelanggaran. Maka ilmu hukum pidana juga terbagi 2 yaitu (1) Ilmu hukum pidana umum, yang mempelajari pengertian dan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar seluruh hukum pidana, dan (2) Ilmu hukum pidana khusus, yang mempelajari delik-delik/tindak pidana-tindak pidana khusus.
  1. Pengaturan Hukum Pidana dalam KUHP
Secara sitematis isi KUHP Indonesia yang berlaku sekarang ini, semula bernamaWetboek van Strafrecht Nedeherland Indhie (W.v.S.N.I) terdiri tiga buku yaitu:
  • Buku kesatu,berisi tentang ketentuan-ketentuan umum yang berupa asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum pidana Indonesia (pasal 1  s.d. Pasal 103).
  • Buku kedua,berisi tentang ketentuan tindak pidana yang disebut dengan kejahatan (pasal 104  s.d. 488).
  • Buku ketiga,berisi tentang ketentuan tindak pidana yang disebut pelanggaran ( 489  s.d. 569).
  1. Pengaturan Hukum Pidana di luar KUHP
  2. Tindak pidana korupsi
Pengaturan tindak pidana korupsi berdasarkan Peperpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan tindak pidana korupsi, mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960, kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1961 (LN Nomor 3 Tahun 1961) disebut UU Anti-Korupsi. Untuk bahan kajian sumber hukum tindak pidana korupsi dapat dilihat pada:
  • UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999;
  • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotesme;
  • UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  1. Tindak pidana subversi
Berdasarkan Penpres No. 11 Tahun 1963 tanggal 16 Oktober 1963, Pasal 1 merumuskan yang dimaksud tindak pidana subversi. Pasal 13 Penpres No. 11 Tahun 1963 menyatakan bahwa pelaku tindak pidana subversi diancam dengan maksimum hukum mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Sedangkan pasal 14 menyatakan bahwa benda baik milik maupun bukan milik terpidana yang diperoleh dari atau digunakan sebagai alat melakukan tindak pidana subversi, dapat dirampas. Contoh Keppres No. 133 Tahun 1965 tanggal 20 Mei 1965 menyatakan: “permainan lotere buntut sebagai tindakan subversi.
6. Eksistensi hukum pidana adat
  1. Keberadaan Hukum Pidana Adat Indonesia
Diperiksa dari perspektif normatif, dimensi teoritis, dan praktis dari prinsip-prinsip dasar hukum dan keberadaan hukum pidana adat titik awal keberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951 (LN Nomor 9 tahun 1951). Pada ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Hukum material sipil dan untuk sementara waktupun hukum pidana substantif berlaku hingga saat ini pegawai negeri kepada hamba-daerah kosong dan orang-orang yang pernah diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku bagi hamba-hamba dan orang dengan pengertian bahwa tindakan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai tindak pidana, tetapi tiada bandingnya dalam KUHP Perdata, itu dianggap dihukum dengan tidak lebih dari tiga bulan penjara dan / atau denda lima ratus dolar, sebagai pengganti hukuman tradisional dijatuhkan ketika tidak diikuti oleh pihak mengutuk dan penggantian dianggap setara oleh Hakim dari kesalahan dikutuk, bahwa ketika hukuman itu dijatuhkan hakim adat dibayangkan melampaui dia dengan hukuman penjara atau denda yang disebutkan di atas, maka kesalahan terdakwa dapat dihukum pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa gagasan adat hukuman, hakim tidak selaras lagi dengan waktu terus diganti seperti yang disebutkan di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum kehidupan harus dianggap sebagai tindak pidana yang tertandingi dalam Kode KUHP Perdata, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan banding hukuman yang paling mirip dengan tindak pidana.
Ada tiga (3) kesimpulan dasar ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951. Pertama, bahwa tindak pidana adalah custom tertandingi atau ekuivalen dalam KUHP yang tidak dianggap parah atau ringan pelanggaran kepabeanan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau denda lima ratus dolar (setara untuk kegembiraan jahat), minimal yang diatur dalam Pasal 12 KUHP adalah 1 (satu) hari penjara dan denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Namun, untuk pelanggaran ancaman maksimum berat adat pidana 10 (sepuluh) tahun, sebagai pengganti hukuman adat tidak dilakukan oleh terdakwa. Kedua, ada banding pidana tradisional di Kode ancaman pidana Pidana dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP tindak pidana seperti adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis), Perzinahan (Makasar) sebanding dengan kejahatan perzinahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana diatur dalam konteks di atas dapat digunakan sebagai hukuman pokok atau denda besar oleh hakim memeriksa, mengadili, dan memutus bertindak sesuai dengan hukum kehidupan (hukum yang hidup) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya di Pidana pelanggaran kode, sementara tidak ada perbandingan dalam sanksi KUHP harus dikenakan sesuai dengan ketentuan KUHP.
Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 Tahun 1951 berlakunya hukum dasar hukum pidana adat juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakkan dasar eksistensi hukum pidana tradisional. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, "Keadilan dan Hakim Konstitusi wajib menggali, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat", maka ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa, "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, tapi wajib untuk memeriksa dan menilai", sesuai dengan ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, "Keputusan pengadilan selain harus mencakup alasan yang cukup untuk keputusan itu, juga mengandung pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim ".
Pada dasarnya, kalimat, "nilai-nilai hukum hidup dan rasa keadilan dalam masyarakat", "hukum tidak ada atau kurang jelas", "sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim" mencerminkan baik tersurat maupun tersirat bahwa tradisional hukum pidana keberlakukan juga diatur dalam UU No 48 Tahun 2009.
Selain kebijakan legislatif dari hukum pidana keberlakukan diatur dan dibahas dalam berbagai seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan reformasi hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Laporan Nasional Criminal Justice Reform Simposium 1980, antara lain menyatakan, "... upaya reformasi hukum pidana yang didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan aspirasi Pidana mencerminkan Politik nasional ... Dalam hubungan ini harus menjadi proses reformasi melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam (antara lain) pada: ... hukum pidana adat dan keagamaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia ". Kemudian di VI Hukum Nasional Seminar Laporan 1994 pada titik ditentukan bahwa, "hukum tertulis dan hukum tidak tertulis harus saling melengkapi", dan huruf b menegaskan, "hukum tak tertulis pembentukan yang lebih" luwes "daripada pembentukan hukum tertulis, karena dapat mengatasi kesenjangan antara validitas dan efektivitas hukum".
Selain itu, keberadaan adat hukum pidana ditataran yurispudensi Mahkamah Agung juga diakui melalui penafsiran sifat hukum substantif terhadap kedua fungsi fungsi positif dan negatif. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung untuk menerapkan hukum substantif alam terhadap fungsi negatif yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan penghapusan alam melawan hukum karena tiga faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak membuat keuntungan serta tindakan alam secara umum bisa hilang melawan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis. Pertimbangan dasar keberadaan hukum yang diakui (pidana) adat disebutkan oleh editorial sebagai berikut, bahwa Mahkamah Agung pada prinsipnya dapat membenarkan pendapat Pengadilan Tinggi, bahwa suatu tindakan dapat hilang pada sifat umum dari pertarungan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis dan umumnya dianggap sebagai Pengadilan Tinggi dalam kasus penipuan resmi dibuktikan oleh terdakwa.
Dengan dimensi tolok ukur seperti di atas, maka dengan Effendi Machroes kasus ini muncul dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut prinsip "tort substantif" (Materiile wederrechtelijkheid) di arti negatif. Sementara Mahkamah Agung yurisprudensi yang memegang gugatan fungsi positif yang terkandung dalam materi dalam kasus K/Pid/1983 Keputusan No 275 tanggal 29 Desember 1983 tentang nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada prinsipnya, yurisprudensi pertimbangan Mahkamah Agung keputusan futuristik dengan penafsiran palsu sudut pandang akal "melawan hukum" dari yudex facti diidentifikasi sebagai "melanggar aturan yang ada sanksi pidana", seperti yang dinyatakan oleh redaksi berikut: "Menimbang bahwa, menurut penafsiran Mahkamah Agung istilah" melanggar hukum "tidak tepat, jika hanya dihubungkan dengan kebijakan kredit direksi menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar hukum yang ada sanksi pidana, tetapi menurut pendapat yang telah dikembangkan dalam yurisprudensi, seharusnya hal itu diukur berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis, dan prinsip-prinsip yang bersifat umum sesuai dengan kesusilaan dalam masyarakat. "
Konkretisasi dan pengakuan keberadaan rinci kesimpulan hukum pidana adat yang baik dalam undang-undang dan peraturan, forum ilmiah, pendapat doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
  1. Prinsip Legalitas Bahan Dalam National Criminal Justice Reform
Pada dasarnya asas legalitas juga sering disebut dengan istilah "asas legalitas", "legaliteitbeginsel", "non-retroaktif", "de la legalite" atau "ex post facto hukum". Asas legalitas adalah prinsip yang paling penting dalam hukum pidana sebagai diucapkan oleh Dupont. [12] Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan prinsip legalitas formal. Dalam RUU KUHP, dikaji dari perspektif asas legalitas constituendum ius baik legalitas formal dan legalitas bahan diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut:
  1. Tidak ada yang bisa dipenjarakan atau dikenakan tindakan apapun, kecuali tindakan yang diambil telah didefinisikan sebagai sebuah kejahatan di bawah hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
  2. Dalam menentukan keberadaan kejahatan dilarang menggunakan analogi.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Tanpa mengurangi hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang tidak boleh dihukum bahkan jika perbuatan itu diatur dalam undang-undang.
  4. Penerapan hidup dalam masyarakat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum.
Kemudian, bab demi bab penjelasan ketentuan Pasal 1 RUU KUHP rincian sebagai berikut:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Prinsip ini menentukan bahwa suatu tindakan adalah kejahatan hanya jika diresepkan oleh atau berdasarkan hukum. Bekerja prinsip Oleh karena itu, asas legalitas merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana. Oleh karena itu undang-undang yang mengandung sanksi pidana atau pidana harus sudah ada sebelum mereka berkomitmen. Ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum menuntut dan mengadili orang yang dituduh melakukan kejahatan.
Ayat (2)
Melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi suatu perbuatan yang pada waktu itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi ditegaskannnya ketidaksepakatan yang muncul dalam praktek selama ini bisa dihilangkan.
Ayat (3)
Ini adalah fakta bahwa di beberapa bagian Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Hal-hal seperti juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh kebiasaan pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi.
Ada beberapa catatan substansial adanya asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP. Pertama, asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP adalah prinsip legalitas RUU yang memperluas keberadaan dikenal asas legalitas formal dan asas legalitas bahan. Dalam rancangan KUHP asas legalitas formal yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas substantif yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3). Pada asas legalitas formal, dasar harus suatu perbuatan hukum dihukum yang ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Maka prinsip legalitas bahan menentukan bahwa dasar harus sebuah tindakan hukum dihukum hidup dalam masyarakat yang bukan hukum tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam rangka membangun tindak pidana dilarang menggunakan analogi (Pasal 1 (2) RUU KUHP). Penjelasan untuk Pasal Pasal Pasal 1 ayat (2) KUHP Bill menyatakan bahwa, "melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi ke bertindak yang pada saat itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi menekankan perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek sejauh dapat dihilangkan". Dalam analogi penafsiran sifat kepustakan hukum dimaksudkan jika suatu tindakan pada saat itu bukan merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk kejahatan lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang mirip dengan tindakan, sehingga bahwa tindakan kedua dianggap analog dengan satu sama lain.
Andi Hamzah mengatakan bentuk menjadi dua gesetz analogi analogi analogi perbuatan yang sama tidak terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi analogi dengan tindakan yang memiliki beberapa kesamaan dengan perbuatan yang dilarang berdasarkan ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim menunjukkan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau gesetzes Analogie. Kedua, hukum atau analogi rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana yang memungkinkan analogi analogi hukum dan bukan hukum analogi. Namun demikian, sulit untuk membedakan antara analogi dan hukum undang analogi. M. Cherif Bassiouni, ada tiga kategori analogi dibagi. Pertama, analogi untuk membuat tindak pidana baru telah diduga tapi tidak didefinisikan oleh pembuat hukum. Kedua, analogi diterapkan ketika suara undang-undang ini tidak cukup jelas atau gagal untuk merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Ketiga, analogi ini tidak berlaku untuk hukuman didifinisikan oleh legislator.
Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas memungkinkan analogi untuk penuntutan pidana, jika mereka masih dalam batas-batas yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. Namun, sistem hukum untuk menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan aturan klausul yang diberikan mendukung Reo. Artinya, hakim telah memutuskan bahwa meringankan terdakwa.  Pada intinya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Grup menyetujui penerapan argumen analogi untuk pengembangan masyarakat yang relatif cepat sehingga hukum pidana harus berkembang dengan perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang penggunaan analogi, dengan pengecualian Denmark dan Inggris yang memungkinkan penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang aplikasi karena aplikasi penafsiran analogi analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana dan Hazewinkel Suringa dan Vos tidak tegas menolak dan menerima analogi. Dalam praktik peradilan, pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kasus pencurian listrik dengan memperluas definisi "barang" (goed) termasuk listrik. Praktek peradilan Indonesia melalui Pengadilan Tinggi Keputusan No 144/Pid/1983/PT Medan. Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda serta "keperawanan seorang wanita".
Selanjutnya Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi adalah interminis kontradiksi bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dihukum bahkan jika tindakannya tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, untuk mengkriminalisasi tindakan yang tidak diatur dalam undang-undang, seperti itu atau tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidaknya penafsiran ekstensif. Bahkan, ada dasarnya ada perbedaan prinsip antara penafsiran ekstensif dengan analogi. [15] Ketiga, prinsip legalitas resmi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diterapkan mutlak / absolut atau imperatif karena pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP . Keberadaan dan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP menjelaskan bahwa, "itu adalah fakta bahwa pada bagian tertentu dari Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Tersebut hal yang juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh bea cukai pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan ayat ini adalah pengecualian terhadap prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu".
Kesimpulan dasar ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP dengan pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis bahwa konsekuensi logis dari RUU KUHP pembentuk menarik hukum tidak tertulis dalam hukum formal. Implikasi aspek penegakan hukum yang membuat hidup di masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub-sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti karena polarisasi pemikiran membentuk Pidana Bill Kode 2008 dimulai dari monodualistik keseimbangan prinsip keseimbangan antara kepentingan / perlindungan individu (prinsip prinsip pribadi / culpabilitas) dengan manfaat / perlindungan (prinsip sipil) publik, keseimbangan antara formal dan material kretaria, dan keseimbangan antara aturan hukum dengan keadilan. Nilai / ide keseimbangan dalam RUU KUHP diikuti dalam menentukan apakah kejahatan selalu melawan hukum dianutnya sifat material yang melanggar hukum. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP menentukan, "untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, di samping tindakan dilarang dan dikenai sanksi hukum dan peraturan, juga akan melanggar hukum atau bertentangan dengan kesadaran masyarakat" dan ayat (3) menyatakan bahwa, "setiap tindak pidana selalu dianggap melawan hukum, kecuali ada pembenaran". Polarisasi legislator berpikir dalam menentukan keselarasan mungkin akan bertanggung jawab harus memperhatikan perasaan hidup dalam masyarakat hukum. Kesimpulan, bertindak tidak hanya akan bertentangan dengan hukum dan peraturan, tetapi juga akan selalu melawan hukum. Tindakan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dianggap oleh publik sebagai tindakan yang tidak layak dilakukan. Bertentangan dengan ketentuan hukum yang menentukan, berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang narapidana yang melakukan tindakan yang tidak adil melanggar hukum. Oleh karena itu, untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim harus menentukan apakah tindakan selain transaksi dilakukan secara formal dilarang oleh undang-undang dan apakah tindakan ini juga bertentangan dengan hukum material, dalam hal kesadaran masyarakat. Ini adalah wajib untuk dipertimbangkan dalam keputusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Sebenarnya, prinsip legalitas formal yang diimbangi dengan ketentuan asas legalitas bahan.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) dari RUU KUHP dijelaskan aturan hukum yang hidup dalam masyarakat di sepanjang garis dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum. Artikel ini kemudian menyebutkan penjelasan itu, "ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman ini ayat nasional berorientasi dan nilai internasional. "Pada dasarnya, pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi. Bila diterjemahkan, aspek ini sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila) berarti sesuai dengan nilai-nilai / paradigma moral religius, nilai / paradigma kemanusiaan / humanis, nilai / paradigma kebangsaan, nilai / paradigma demokrasi ( demokrasi) dan nilai / paradigma keadilan sosial. Kemudian tanda-tanda yang berbunyi, "sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa berakar pada" Prinsip umum hukum Diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa "yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik). Adanya tanda-tanda, hukum yang hidup (hukum pidana adat) mendapat landasan untuk dihakimi dan sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah nilai yang sesuai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum umum diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, pembatasan formal yang tidak menerapkan asas legalitas secara absolut dan keseimbangan polarisasi pemikiran RUU monodualistik membentuk juga secara implisit mengadopsi KUHP bertentangan dengan ajaran hukum substantif dalam fungsi positif. Dalam literatur fiqih dan praktek peradilan terhadap ajaran sifat hukum substantif dalam fungsi positif berarti bahwa bahkan jika suatu tindakan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat memvonis ketika perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.